Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia memerlukan investasi sedikitnya Rp10.000 triliun untuk mencapai target zero emission pada 2060.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa kebutuhan investasi itu merupakan hitungan kasar dengan mempertimbangkan harga kebutuhan saat ini.
Dalam jangka pendek, pemerintah juga memerlukan investasi hingga Rp500 triliun untuk mencapai kapasitas daya dari bauran energi terbarukan hingga 20 gigawatt (GW) pada 2030.
“Kalau mengejar 2060, hitungan kami ini perlunya [investasi mencapai] Rp10.000 triliun untuk net zero emission. Ini hitungan secara kasar dengan berbasis teknologi dan pengetahuan sekarang,” katanya saat webinar The 4th Indonesia Energy Transition Dialogue 2021, Senin (20/9/2021).
Menurutnya, hitungan tersebut mempertimbangkan harga komponen yang ada di pasar saat ini. Meski begitu, bukan tidak mungkin angka tersebut akan turun seiring dengan perkembangan teknologi di masa depan.
“Karena kan [nilai investasi] PLTS turunnya cepat, harga PLT Bayu juga demikian, dan saya kira harga baterai pun akan seperti itu [turun],” tuturnya.
Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa angka investasi tersebut akan berubah seiring dengan keekonomian produk di masa depan.
Kajian IESR menunjukkan bahwa untuk memenuhi target 23 persen bauran energi baru terbarukan (EBT) hingga 2025, investasi yang diperlukan sekitar US$14 miliar hingga US$15 miliar, atau setara dengan Rp210 triliun.
Sementara itu, untuk mencapai zero emission, IESR memperkirakan nilai investasi yang diperlukan hingga 2030 menyentuh US$25 miliar sampai US$30 miliar, atau sekitar Rp420 triliun. Angka tersebut akan lebih tinggi pada 2030–2050, yakni mencapai US$50 miliar hingga US$60 miliar per tahun.
Nilai investasi itu termasuk untuk pengembangan di sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Fabby menyebut, investasi itu juga mencakup pengembangan green hydrogen, serta sintetik fuel untuk kendaraan yang tidak dapat menggunakan listrik, seperti pesawat dan kapal.
“ini angka yang besar, tapi menurut saya ini mesti kita lihat juga sebagai kesempatan menarik investasi. Jadi bukan menarik biaya, tapi membuka kesempatan investasi dan sekiranya kebijakan regulasi perencanaan menjadi sangat penting menarik investor tersebut,” terangnya.