Bisnis.com, JAKARTA - Komisi XI DPR RI menyuarakan pendapatnya terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang diajukan oleh pemerintah.
Tidak sedikit yang merespon secara spesifik terhadap rencana pemerintah untuk mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok atau sembako, jasa pendidikan atau sekolah, dan jasa kesehatan.
Meskipun seluruh fraksi menyetujui RUU KUP untuk dibahas lebih lanjut di dalam Panitia Kerja (Panja), sejumlah fraksi menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pungutan PPN atas barang dan jasa yang banyak dikonsumsi masyarakat.
Di antaranya, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Nasdem Fauzi Amro menyampaikan bahwa pemungutan PPN untuk sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan akan memberatkan masyarakat. Pasalnya, barang dan jasa tersebut merupakan barang pokok yang dibutuhkan masyarakat.
"Fraksi Partai Nasdem tidak menyetujui atau menolak terhadap pengenaan objek pajak, dengan cara menarik pajak pendidikan, sembako, serta jasa layanan kesehatan. Hal ini akan memberatkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah," jelasnya pada Rapat Kerja (Raker) Komisi XI DPR RI dengan pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (13/9/2021).
Anggota Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam juga menyatakan penolakan terhadap perluasan basis PPN tersebut. Dia menyayangkan diskursus yang terjadi di masyarakat justru berfokus pada pengenaan pajak terhadap barang-barang pokok kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, dia menyatakan tidak menerima usulan yang dimuat dalam amandemen UU KUP tersebut.
Baca Juga
"Bahkan, Fraksi PKS dan juga DPR RI Komisi XI bersama dengan pemerintah ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang PNBP sudah meng-address dan memutuskan untuk tidak mengenakan PNBP dalam bentuk apapun atas jasa layanan dasar," tuturnya.
Adapun, pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan klaster PPN dalam RUU KUP mengatur perluasan basis pajak PPN dengan pengurangan atas pengecualian dan fasilitas PPN agar lebih mencerminkan keadilan serta ketepatan sasaran. Hal itu, tambahnya, tertuang pada pasal 4A dan 16B.
Sri menyebut terdapat 3 cara pengaturan kembali objek PPN. Salah satunya dalah pengenaan PPN terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak, seperti barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan.
"Terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan dikenakan PPN dengan tarif PPN yang lebih rendah dari tarif normal atau dapat tidak dipungut," jelas Sri yang turut hadir pada Raker sebagai perwakilan pemerintah.
Bendahara negara lalu menambahkan bahwa kepada masyarakat yang tidak mampu dapat dikompensasi dengan subsidi.
"Serta bagi masyarakat yang tidak mampu dapat diberikan kompensasi dengan pemberian subsidi. Dengan demikian, azas keadilan semakin diwujudkan," katanya.
Selain itu, Sri juga memaparkan bahwa pemerintah menyediakan skema multitarif PPN untuk mencerminkan keadilan bagi Wajib Pajak (WP). Skemanya yaitu tarif umum dinaikkan dari 10 persen menjadi 12 persen, serta mengenalkan kisaran (range) tarif dari 5 persen hingga 25 persen. Aturan tersebut tertuang pada pasal 7 dan 7A.
Selain pengenaan PPN terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak, pengaturan kembali objek dan fasilitas PPN dilakukan melalui 2 (dua) cara lainnya.
Yaitu seluruh barang dan jasa dikenakan PPN kecuali yang sudah menjadi objek PDRD; uang, emas batangan, dan surat berharga; jasa pemerintahan umum yang tidak dapat disediakan pihak lain; dan jasa penceramah keagamaan.
Lalu, fasilitas tidak dipungut PPN atas BKP/JKP tertentu, untuk mendorong ekspor (di dalam dan luar kawasan tertentu) dan hilirisasi SDA; untuk fasilitas PPN dibebaskan atas BKP/JKP strategis diubah menjadi fasilitas PPN tidak dipungut; serta untuk kelaziman dan perjanjian internasional.