Bisnis.com, JAKARTA -- Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa Indonesia termasuk negara dengan kinerja pajak pertambahan nilai (PPN) yang tidak buruk. Dia pun membandingkan PPN di Indonesia dengan negara lain.
Berdasarkan catatannya, C-efficiency PPN Indonesia sebesar 63,58 persen. Artinya, pemerintah hanya bisa mengumpulkan 63,58 persen dari yang seharusnya bisa dipungut.
“Jadi ruangnya masih cukup lebar untuk meningkatkan PPN kita,” katanya pada diskusi virtual, Jumat (27/8/2021).
Hestu menjelaskan bahwa itu bisa terjadi karena terlalu banyak pengecualian pajak atas barang dan jasa. Setidaknya ada empat kelompok barang dan 17 jasa.
Fasilitas yang diberikan negara pun sama banyak, contohnya PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut. Ini membuat distorsi dan terjadi ketimpangan kontribusi sektor usaha pada produk domestik bruto dan PPN dalam negeri.
Di sisi lain, tarif PPN Indonesia sebesar 10 persen dan tidak berubah sejak 1984. Padahal tarif rata-rata dunia 15,4 persen. Sistem pungutan tunggal juga kurang mencerminkan keadilan.
Hestu mengakui masih ada negara yang menetapkan tarif 10 persen seperti Indonesia. Bahkan ada pula yang di bawah itu. Jika dilihat secara jumlah, mayoritas negara sudah ada di atas 10 persen.Dia mencontohkan negara tetangga Filipina dengan PPN sebesar 12 persen
Arab Saudi yang baru mengenalkan PPN 4 tahun lalu, kata dia, tarifnya sudah dinaikkan menjadi 15 persen dari awalnya 5 persen. India yang kondisi ekonominya hampir sama dengan Indonesia di 18 persen.
“Nah, ini gambaran kita menghadapi tantangan kalau ingin PPN kita berkinerja cukup bagus di dalam dukung penerimaan negara, kita harus bergerak menaikkan tarif sebagaimana negara lain sudah lakukan,” jelas Hestu.