Bisnis.com, JAKARTA — Industri mainan menyebut rencana Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk merampingkan Lembaga Sertifikat Produk (LSPro) akan bertolak belakang dengan upaya pemulihan ekonomi saat ini.
Adapun saat ini Kemenperin mencatat ada 69 LSPro di Indonesia yang harus segera dikurangin. Pasalnya, banyak LSPro dinilai tidak berkualitas yang bekerja tanpa memiliki laboratorium.
Ketua Umum Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) Sutjiadi Lukas menilai kebijakan pengurangan LSPro hanya strategi Kemenperin untuk mengunci keran impor. Pasalnya, Kemenperin tidak berani terang-terangan melarang impor karena adanya sanksi dari World Trade Organization atau WTO.
Meski bagi produsen lokal mainan, lanjut Sutjiadi, akan baik untuk mendorong produksi tetapi dalam pelaksanaannya tidak akan dapat meningkatkan penjualan secara signifikan.
"Dengan demikian kebijakan Kemenperin bertolak belakang dengan upaya pemulihan ekonomi masa pandemi. Penutupan keran impor juga dikhawatirkan akan membuat impor borongan kembali masuk," katanya kepada Bisnis, Kamis (26/8/2021).
Sutjiadi menyebut kondisi industri mainan sendiri, saat ini produksi lokalnya belum dapat membuat mainan yang berteknologi karena faktor sumber daya manusia. Alhasil, untuk pasar menengah atas belum bisa dipasok oleh pabrikan lokal.
Baca Juga
Alhasil, bagi kalangan pebisnis mainan masih membutuhkan waktu lama untuk mengisi kebutuhan masyarakat menengah atas. Pengusaha, pada akhirnya menyuplai dengan mengimpor mainan dari negara lain dan sebagai sarana alih tekhnologi.
Sementara itu, saat ini industri sudah disulitkan bukan hanya dari rencana pengurangan LSPro dan lab uji saja tetapi dengan PP Nomor 28/2021 tentang penyelenggaran bidang perindustrian.
Dengan regulasi tersebut para pelaku LSPro swasta sudah tidak bisa bekerja lagi karena ada kewajiban pengambilan sampel SNI harus orang yang menetap di Indonesia dan warga negara Indonesia kemudian sudah mengikuti uji kompetensi.
"Jelas dalam kondisi pandemi seperti saat ini tidak mungkin kita mengirim orang mengambil sampel keluar negeri karena pihak kedutaan China tidak akan memberikan visa. Bahkan, pernah ada LSPro yang bisa mendapatkan visa untuk petugasnya tapi Kemenperin malah menuduh mempermudah impor," ujar Sutjiadi.
Dia juga menyoroti pernyataan Menperin dalam rapat kerja dengan Komisi VII, di mana Menperin menyebut LSPro di China hanya satu lembaga saja. Faktanya di kota Shantou ada 60.000 industri mainan anak yang tidak mungkin dilayani oleh satu LSPro saja.
Selain itu setiap provinsi memiliki industri sendiri yang berbeda dengan kontrol kualitas yang sangat ketat mengingat 70 persen produknya untuk pasar ekspor.
"Jadi kalau LSPro sedikit terus mau berapa banyak karyawan yang harus direkrut oleh LSPro dan mempunyai sertifikat uji kompetensi. Lalu dalam lingkup kerja yang begitu luas
harus mengambil sampel produk dari luar negeri maupun dalam negeri dari sekian ribu perusahaan," katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Sepeda dan Mainan (APSMI) Eko Wibowo mengatakan 60 persen mainan yang ada di Indonesia saat ini masih didatangkan dari impor karena ketidaksiapan industri dalam negeri membangun ekosistem mainan.
"Dalam satu mainan itu setidaknya ada 50 komponen yang harus impor. Untuk membuat banyak varian menjadi sulit, sekarang satu pabrik paling maksimal 80 tipe padahal perubahan tipe cepat sekali. Investasi satu tipe saja mulai dari Rp500 juta sampai Rp1 miliar," katanya.
Eko juga menyayangkan industri mainan belum menjadi prioritas pemerintah saat ini padahal potensinya cukup besar. Pabrik mainan lokal yang skala besar saja jumlahnya masih kurang dari 100.