Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio Nugroho menyayangkan kebijakan Kementerian Perindustrian yang menargetkan subtitusi impor 35 persen pada tahun depan.
"Program ini populis secara politik, baik karena akan menurunkan impor tetapi strateginya kuno. Apalagi kita lihat sendiri tahun lalu impor turun tetapi berpengaruh ke industri secara keseluruhan karena secara agregat sektor hulu mayoritas masih mengandalkan impor," katanya kepada Bisnis, Kamis (26/8/2021).
Alhasil, Andry menyebut bisa saja kebijakan subtitusi impor 35 persen tetap dilakukan tetapi akan memberi konsekuensi perlambatan pertumbuhan pada industri. Dengan demikian, kebijakan ini dinilai tidak reliable dan visible.
Menurut Andry, persoalannya bukan terletak pada importasi yang berarti industri belum mandiri. Namun, pemerintah belum memiliki cita-cita lebih besar yakni menjadi bagian dari rantai pasok global.
"Kalau sudah impor tidak besar lagi, lalu untuk apa? TKDN juga terkesan dipaksa sekarang sehingga industri tidak bisa tumbuh pesat. Contohnya untuk produk elektronika pasti akan terseok-seok," ujarnya.
Andry pun menyebut belum memahami perhitungan 35 persen yang diinginkan pemerintah untuk mengurangi impor tersebut. Pastinya, kebijakan usang ini sebaiknya dikaji kembali.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan penurunan impor tahun ini bisa mencapai 22 persen dari baseline total impor khusus bahan baku dan modal periode 2019 yang sebesar US$132,14 miliar.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan bahwa target program substitusi impor mencapai US$29,07 miliar. Artinya, target nilai impor sepanjang tahun ini tidak boleh lebih dari US$103,7 miliar.
Adapun realisasi impor periode Januari hingga Juni 2021 adalah US$82,2 miliar. “Dengan demikian, impor bahan baku penolong hanya memiliki ruang sebesar US$21,5 miliar sampai akhir 2021 untuk menjaga target penurunan impor tercapai,” katanya.