Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) optimistis batu bara Indonesia masih memiliki pasar ekspor yang prospektif dalam dua dekade ke depan.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan, permintaan batu bara masih terus menguat meskipun tekanan negatif terhadap industri itu terus meningkat seiring menguatnya isu transisi energi dan perubahan iklim.
“Di tengah pandemi ternyata permintaan batu bara terus menguat di tengah tekanan yang terus tinggi, dan banyak kampanye negatif terhadap komoditas batu bara. Perbankan dari berbagai negara umumkan mereka tinggalkan pendanaan batu bara, isu perubahan iklim, tapi fakta tunjukkan demand batu bara masih tinggi,” ujar Hendra dalam sebuah webinar, Senin (23/8/2021).
Salah satu penyebab masih tingginya permintaan ekspor batu bara Indonesia, kata dia, adalah rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di negara-negara Asia Pasifik.
Berdasarkan data yang dihimpun APBI, akan ada penambahan PLTU batu bara hingga 83 gigawatt (GW) pada periode 2021—2030 di berbagai negara di dunia, seperti India, Indonesia, Vietnam, Jepang, Filipina, Korea Selatan, Bangladesh, Pakistan, dan Turki.
“Ini di luar China. Bahkan China di 2020, mereka selesaikan hampir 20 GW PLTU batu bara. Meski China agresif kembangkan energi terbarukan, tapi mereka secara masif bangun PLTU bata bara,” ujarnya.
Pembangunan PLTU yang masih cukup besar di China membuat APBI optimistis batu bara Indonesia masih memiliki pasar ekspor. Pasalnya, sekitar 50 persen impor batu bara China berasal dari Indonesia.
“Dengan data-data seperti ini, kami masih cukup memiliki keyakinan dalam 1—2 dekade ke depan Indonesia memiliki prospek pasar batu bara di negara-negara Asia Timur, terutama China,” ucapnya.