Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Arif Budisusilo

Jurnalis Senior Bisnis Indonesia Group

Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia (2009-2016) dan Direktur Pemberitaan (2012-2020). Sejak Juli 2020, ditugaskan sebagai Presiden Direktur Solopos Group dan Harian Jogja. Menulis isu ekonomi makro, manajemen dan inovasi, serta perkembangan industri media. Twitter @absusilo, IG: arif_budisusilo

Lihat artikel saya lainnya

NGOBROL EKONOMI: Pertumbuhan Berbasis Solidaritas

Dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya 7 persen year on year, pun baru dalam satu kuartal belum genap setahun, sebenarnya menunjukkan masih ada yang kurang dalam penanganan pandemi kita.
Peta zonasi kasus Covid-19 di Indonesia/covid19.go.id
Peta zonasi kasus Covid-19 di Indonesia/covid19.go.id

Urip iku urup. Ungkapan lama dalam bahasa Jawa itu tentu sudah Anda pahami di luar kepala. Saya sangat suka terhadap ungkapan itu, karena kedalaman maknanya. Arti harfiahnya adalah "Hidup itu Nyala". Urip berarti hidup dan urup berarti nyala.

Saya memaknai ungkapan itu sebagai refleksi kehidupan sehari-hari. Bagi kaum individualis, nyala bisa dimaknai sebagai semangat dan energi diri, bahkan ketenaran pribadi. Namun bagi para pluralis, nyala dalam kehidupan bermakna menerangi sesama. Spirit hidup yang meng-energize yang lain, menggairahkan bahkan menghidupi sekitarnya.

Walaupun demikian, saya percaya bahwa dalam konteks "urip iku urup", porsi yang kedua ini lebih besar dan lebih banyak daripada porsi yang pertama. Lihat saja kehidupan kita sehari-hari. Paling dekat adalah mengamati kondisi pandemi hari-hari ini. Semangat saling tolong dan gotong royong telah menjelma menjadi best practices, praktik terbaik, di alam nyata. Bukan kenyataan semu atau virtual reality di media sosial semata.

Dulu sekali, di awal pandemi Maret 2020 lalu, banyak wacana terhadap respons kebijakan, bahwa kalau dilakukan lockdown, atau karantina, atau pembatasan yang ketat terhadap kegiatan masyarakat, akan banyak orang mati terkapar karena lapar ketimbang mati karena terpapar. Maksudnya terpapar virus Corona.

Pembawa wacana itu lupa, ada spirit urip iku urup di tengah masyarakat kita. Seolah-olah masyarakat kita ini individualis. Ternyata, satu setengah tahun setelah pandemi terjadi, banyak cerita yang tidak hanya menginspirasi, tetapi sekaligus membuktikan bahwa masyarakat kita tidak hidup sendiri-sendiri.

Banyak buktinya. Anda tentu setuju, bantuan sosial dari pemerintah dalam merespons dampak pandemi ini tidak maksimal, bahkan tidak targetted. Nyatanya, alih-alih menjadi target penerima bansos, banyak warga yang menjalani isolasi mandiri karena terpapar Covid-19, dibanjiri aneka bantuan dari warga sekitar, dari komunitas warga, komunitas keluarga, atau bahkan komunitas pertemanan mereka.

Bahkan, banyak cerita, pasien Covid yang dirawat di tempat isolasi rumah sakit atau isolasi terpusat pun tak jarang dikirimi aneka vitamin dan makanan dari kolega. Juga ada yang disumbang "uang saku" dari komunitasnya. Bukan cuma "bantuan resmi" dari tempat isolasi semata.

Lalu sejumlah kalangan profesional beramai-ramai membentuk jejaring relawan untuk saling bantu. Mulai dari penyediaan makanan, obat-obatan dan vitamin, alat pelindung diri termasuk masker, ambulans, bahkan memfasilitasi pemakaman.

Sejumlah ikatan alumni perguruan tinggi, termasuk alumni Universitas Sebelas Maret tempat saya kuliah dulu, juga membentuk relawan Gotong Royong Peduli Covid-19. Tujuannya membantu penyediaan makanan bagi warga yang menjalani isolasi mandiri, menyediakan masker, bantuan ambulans, bahkan memfasilitasi pemakaman bagi warga yang meninggal dunia.

Banyak lagi cerita yang lain, untuk tidak menyebutkan semuanya. Ringkasnya, di tengah keterbatasan uluran tangan pemerintah dan intervensi anggaran negara, nilai-nilai sosial di tengah masyarakat ternyata menjadi energi tersendiri dalam mengatasi pandemi dan bangkit dari dampak pandemi ini.

Itu hanya sekelumit contoh saja. Bahwa urip iku urup benar-benar termanifestasi dalam kehidupan sosial masyarakat kita.

Maka, saya kok berani berasumsi, bila ditarik ke agregat yang lebih luas, spirit gotong royong dan menolong sesama ini telah menjadi pendorong tersendiri, menjadi jawaban mengapa ekonomi Indonesia tidak terpuruk terlalu buruk selama pandemi ini.

Ada "mesin konsumsi" yang berputar secara informal. Bisa jadi, informalitas mesin konsumsi itu tidak terekam oleh piranti statistik. Perilaku sosial mitulungi liyan, atau membantu orang lain, adalah mekanisme belanja konsumsi tersendiri. Ada spending yang menolong ekonomi. 

Di lingkungan pedesaan, saya kerap mendengar bahwa "biaya sosial" untuk menyumbang pernikahan, kelahiran bayi, menengok tetangga sakit dan lainnya, lumayan menyedot porsi pengeluaran rumahtangga yang besar.

Tentu, jenis spending atau pengeluaran semacam itu tidak secara spesifik terekam instrumen statistik. Beda dengan belanja sembako, beli mobil atau sepeda motor, pembayaran uang sekolah, atau barang konsumsi yang lain, yang jelas-jelas termonitor dalam data statistik.

Dengan kata lain, perputaran ekonomi kita barangkali juga mendapat pitulungan dari perilaku sosial sebagai manifestasi urip iku urup di tengah masyarakat kita. Itu barangkali yang disebut pertumbuhan ekonomi berbasis solidaritas. Entah bagaimana menghitungnya.

***

Maka, saya benar-benar percaya, bahwa bangsa kita akan selamat dari wabah corona ini. Juga perekonomiannya.

Terlepas apapun kekurangan dan kelemahan kebijakan pengendalian pandemi ini, saya yakin kita akan selamat. Meskipun pemerintahan kita seolah kehilangan keahlian teknokrasi dalam pengendalian pandemi ini, toh bangsa ini masih "relatif baik-baik" saja.

Bahkan, kendati sudah satu setengah tahun pandemi berlangsung, dan ironisnya pemerintah masih membahas soal cara tracing atau pelacakan kasus yang efektif, nyatanya fasilitas kesehatan tidak sampai kolaps seperti kecemasan banyak orang di luar sana.

Saya tentu percaya, apabila pemerintahan menjalankan manajemen teknokrasi yang lebih baik dalam pengendalian pandemi, boleh jadi angka kasus Covid-19 tidak akan sebanyak ini, yaitu 3,7 juta lebih kasus terinfeksi.

Begitu pun, angka kematian akibat terpapar Covid-19 barangkali tidak akan seburuk ini, yakni 110.000 lebih kematian karena Corona. Angka kasus itu pun yang terlaporkan saja, seperti yang kita saksikan hari-hari ini.

Terlebih, apabila pengetahuan masyarakat terhadap karakteristik pandemi ini juga jauh lebih memadai, dan tidak terpapar pula oleh disinformasi dan hoaks yang mematahkan semangat bersama untuk memerangi pandemi, tentu jumlah kasus dan fatalitasnya akan jauh lebih rendah lagi.

Namun sebaliknya, terlepas dari berbagai kelemahan teknokrasi itu, hidup kita terus berjalan. Meskipun di ranah virtual, Republik Sosmed begitu gaduhnya, dan para warga negaranya alias netizen begitu riuhnya, realitas kehidupan kita tampak relatif baik-baik saja.

Dalam kehidupan nyata, tampaknya banyak pitulungan alias pertolongan, entah dari mana. Itu pula yang tercermin dalam potret perekonomian kita, yang ternyata tidaklah "buruk-buruk amat", meski tidak dapat dibilang "amat baik" pula.

Bahkan, pada kuartal kedua tahun ini, perekonomian masih tumbuh 3,31% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Bahkan dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu, perekonomian Indonesia tumbuh 7,07 persen.

Entah kebetulan karena pitulungan dari berbagai faktor, perekonomian kita tumbuh dengan angka pitu alias tujuh.

Banyak orang menyangsikan, bahkan tak percaya.  Bahkan ada yang menganggap angka itu rekayasa. Dan, bahasan soal angka pertumbuhan itu gaduh sekali di dunia maya. Netizen Indonesia memang luar biasa!

Tapi saya tidak heran. Tumbuh 7 persen itu sebenarnya nggak istimewa. Bahkan, tahun lalu IMF memproyeksikan Indonesia bakal tumbuh 8,1 persen tahun ini, di bawah China yang diproyeksikan tumbuh 9 persen, apabila pandemi berhasil dikendalikan dengan baik.

Artinya, apabila pemerintah beserta seluruh aparatnya dari pusat hingga di level daerah mampu mengoptimalkan keahlian teknokrasinya dan menjalankan praktik terbaik alias best practices, tidak setengah-setengah dan maju mundur dalam penanganan pandemi, ekonomi seharusnya tumbuh lebih cepat karena berangkat dari basis penurunan di tahun sebelumnya.

Artinya, dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya 7 persen year on year, pun baru dalam satu kuartal belum genap setahun, sebenarnya menunjukkan masih ada yang kurang dalam penanganan pandemi kita selama satu setengah tahun terakhir.

Namun bagaimanapun, potret perekonomian itu patut kita syukuri. Perekonomian tampaknya tidak akan semakin terpuruk. Kita juga berharap, meski banyak kekurangan manajemen teknokrasi kita, puncak pandemi bakal segera berlalu. Tentu kita wajib berharap pitulungan Tuhan, agar tidak muncul gelombang pandemi berikutnya lagi.

Nah, bagaimana menurut Anda?


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper