Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa waktu lalu Pemerintah Jepang mengumumkan data jumlah penduduk terbaru hasil sensus lima tahunan yang diadakan pada 2020. Saat ini jumlah penduduk di Jepang tercatat 126.227.000 jiwa.
Dibandingkan dengan hasil sensus sebelumnya (2015), jumlah tersebut menurun sebanyak 868.000 jiwa, hal yang pertama kali terjadi sejak sensus penduduk negara itu diadakan.
Dari total penduduk yang ada, manula (manusia lanjut usia) yang berusia 65 tahun ke atas sekitar 28,4 persen, persentase tertinggi di dunia. Mereka mulai kekurangan tenaga kerja produktif sehingga menerima pekerja magang sejak 1993 dan mulai April 2019 diperbanyak lagi dengan mendatangkan tenaga kerja SSW (specified skilled worker).
Jumlah tersebut termasuk tenaga perawat (caregiver) untuk membantu para manula ini. Jepang mengklaim kekurangan tenaga kerja sekitar 1,5 juta orang hingga 2024.
Dengan bertambahnya populasi manula, Jepang juga mulai kekurangan panti jompo. Harapan hidup rata-rata di negara itu saat ini 87 tahun untuk wanita dan 81 tahun untuk pria, termasuk yang tertinggi di dunia.
Untuk mengatasi kekurangan panti jompo, sudah dimulai program senior living ke luar negeri. Malaysia menjadi negara tujuan yang difavoritkan saat ini, disusul Thailand, Hawai, Filipina, dan Australia.
Jepang juga sangat menggantungkan pasokan makanan-minuman, aparel dan energi dari luar negeri. Bahkan akhir-akhir ini berbagai komponen manufaktur untuk otomotif, elektronik, komputer, alat komunikasi dan alat kesehatan juga mulai banyak diimpor.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sepanjang 2019 sebelum pandemi Covid-19, Jepang harus belanja senilai 155,5 triliun yen (sekitar Rp20.470 triliun) di mana pemasok utamanya adalah China (21,3 persen) dan AS (15,4 persen). Indonesia hanya memasok sekitar 1,3 persen, di atasnya ada Malaysia (1,4 persen), Vietnam (2,7 persen) dan Thailand (3,9 persen).
Dari masalah dan kebutuhan Jepang di atas, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilihat oleh Indonesia sebagai peluang untuk meraih devisa. Pertama, memasok tenaga kerja pemagang dan SSW. Kedua, memasok kebutuhan komoditas yang diperlukan Jepang.
Ketiga, menggandeng perusahaan Jepang agar bisa ‘naik kelas’ dan memasok komponen-komponen manufaktur yang memerlukan standar mutu tinggi. Tentu harus bersaing dengan banyak negara lainnya.
Untuk memasok tenaga kerja, Indonesia harus bersaing dengan Vietnam dan China. Dari total pemilik visa pemagang dan SSW saat ini yang berjumlah 424,989 orang (Maret 2021), Indonesia memasok hanya sekitar 37.463 orang (8,8 persen), sementara Vietnam 233.648 orang (55 persen) dan China 75.210 orang (17,7 persen).
Menurut beberapa survei di Jepang, tenaga kerja asal Indonesia yang relatif penurut, telaten, dan rajin sebenarnya lebih disukai.
Sebagai pemasok kebutuhan Jepang, meskipun saat ini tidak lagi masuk ke dalam 10 besar, Indonesia masih punya harapan untuk naik peringkat karena memiliki sumber daya alam yang melimpah dan tenaga kerja produktif yang jumlahnya lebih dari cukup. Indonesia sebenarnya juga pernah berjaya pada 1990-an saat menjadi negara pemasok terbanyak di Jepang, hanya kalah oleh AS.
Di dalam mencari mitra perusahaan Negeri Sakura yang ingin berekspansi ke luar negeri, saat ini yang tersisa kebanyakan perusahaan kecil-menengah. Mereka biasanya punya produk dan teknologi bagus, tetapi tidak memiliki kemampuan finansial dan SDM yang cukup.
Di sini Pemerintah Jepang banyak membantu melalui instansi-instansi resminya dan juga lembaga-lembaga think-tank swasta. Ada banyak pilihan destinasi. Menurut hasil survei 2020 yang dilakukan Japan Bank for International Cooperation, negara yang paling diminati saat ini adalah China, India, Thailand, Vietnam, AS dan baru kemudian Indonesia. Pada 2013 Indonesia pernah bertengger di posisi teratas.
Menurut penulis, kata kunci agar bisa bersaing memperebutkan peluang-peluang di atas adalah semua insan Indonesia harus bisa saling bersinergi dan berkontribusi untuk memperbanyak kerja sama bisnis dengan Jepang di segala level.
Kita memang kekurangan instansi/organisasi yang bisa melakukan hal itu. Jepang memiliki instansi yang didukung penuh oleh pemerintah dan pihak-pihak lainnya seperti JICA, JETRO, SMRJ, K-RIP, AOTS, dan lainnya. Perusahaan-perusahaan besar Jepang juga memiliki lembaga think tank swasta yang profesional untuk itu.
Mereka bisa membantu memberikan solusi atas masalah di negara-negara tujuan, dan juga lihai mendatangkan banyak keuntungan, termasuk mencari solusi atas masalah-masalah besar yang dihadapinya.
Indonesia-Japan Business Network (IJBNet) yang kami dirikan secara gotong-royong dan diresmikan Menteri Airlangga Hartarto pada 8 Agustus 2018 lalu barangkali salah satu alternatifnya.
Aktivitas kami mulai membawa hasil untuk meningkatkan kerja sama bisnis yang saling menguntungkan kedua negara, dan mulai dipercaya banyak instansi resmi dan pihak swasta Jepang. Namun masih sedikit yang memahami bahwa IJBNet adalah organisasi nirlaba.
Semoga ke depannya kami bisa berkontribusi lebih baik lagi untuk membuat peluang-peluang di atas menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi peningkatan hubungan kerja sama Indonesia-Jepang.