Bisnis.com, JAKARTA - Ketika Federal Reserve akhirnya mempertimbangkan penarikan stimulus dalam waktu dekat, kejadian taper tantrum yang melanda pasar negara berkembang pada 2013 segera menghantui. Saat itu, wacana penarikan pembelian obligasi Fed setelah krisis keuangan 2009 membawa gelombang tekanan pada mata uang dan inflasi di emerging market, termasuk Indonesia.
Namun kini, otoritas kebijakan di Asia seharusnya jauh lebih tenang karena sebagian besar negara berkembang di kawasan ini berada dalam posisi yang lebih kuat, sedangkan The Fed telah mengisyaratkan waktu tunggu yang lebih lama pada setiap perubahan.
Kekhawatiran itu didasari asumsi bahwa kenaikan suku bunga AS akan memicu arus keluar modal karena investor mengejar imbal hasil di tempat lain, sehingga memicu aksi jual mata uang yang mengerek inflasi, lonjakan biaya pinjaman, atau memaksa adanya pengetatan kebijakan yang lebih cepat daripada yang tampaknya sehat bagi ekonomi lokal.
Namun, dibandingkan dengan situasi pada 2013, para gubernur bank sentral Asia dapat mengandalkan cadangan devisa yang lebih besar, inflasi yang relatif dapat dikendalikan, perdagangan barang yang berkembang dan pasar obligasi mata uang lokal yang lebih dalam.
“Bank sentral emerging market Asia dapat lebih akomodatif justru karena fundamental yang membaik,” kata Mitul Kotecha, kepala strategi pasar berkembang Asia dan Eropa di Toronto Dominion Bank di Singapura, dilansir Bloomberg, Selasa (6/7/2021).
Dia melanjutkan, inflasi tetap relatif terkendali di seluruh kawasan meskipun ada beberapa pengecualian, sementara keseimbangan eksternal menguat.
Baca Juga
Begitu Gubernur Fed Jerome Powell bulan lalu mengisyaratkan keterbukaan untuk memulai diskusi tentang pembatasan pembelian aset, para analis bergegas membandingkan pengetatan terjadi delapan tahun lalu. Hal ini sudah membantu mendorong kenaikan suku bunga di Meksiko, Brasil, dan Hungaria pada Juni.
Yang pasti, The Fed telah mencoba untuk lebih transparan dan memberi sinyal rencananya dengan jelas. Presiden Federal Reserve Bank of Dallas Robert Kaplan mengatakan pekan lalu bahwa Fed telah memberikan waktu yang cukup kepada investor untuk memungkinkan pengurangan yang lebih mulus kali ini.
Namun, pembuat kebijakan dan investor juga melihat cerita yang berbeda di negara berkembang Asia, di mana Korea Selatan adalah satu-satunya bank sentral yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga pada awal tahun ini dan lebih karena alasan pertumbuhan seputar normalisasi, daripada inflasi.
Selama paruh pertama tahun ini, 13 bank sentral Asia-Pasifik mempertahankan suku bunga stabil, satu-satunya pengecualian adalah pemotongan suku bunga oleh Indonesia pada bulan Februari.
Kotecha mengatakan Asia tetap menjadi tujuan investasi yang menarik, meskipun beberapa aliran sementara menuju pasar dengan imbal hasil lebih tinggi di Amerika Latin dan kawasan Eropa, Timur Tengah, Afrika karena kenaikan suku bunga mendorong imbal hasil.