Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sulit Kembalikan Defisit APBN ke 3 Persen di 2023, Ini Tantangannya

Pendekatan yang lebih ideal adalah dengan mendorong penerimaan negara, baik dari sisi penerimaan pajak maupun nonpajak.
Siluet gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P
Siluet gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah menargetkan angka defisit APBN kembali ke level 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan UU No. 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19, angka defisit di atas 3 persen hanya diperbolehkan hingga 2022.

Pada 2020, defisit APBN tercatat mencapai 6,09 persen. Tahun ini pun, batas maksimum angka defisit ditetapkan sebesar 5,7 persen.

Per Mei 2021, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit APBN telah mencapai Rp219,3 triliun atau setara dengan 1,32 persen dari PDB. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, posisi defisit pada Mei 2021 mengalami kenaikan sebesar 22,24 persen.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan ada beberapa tantangan bagi pemerintah untuk bisa mengembalikan angka defisit pada 2023.

Menurutnya, ada dua hal yang dapat ditempuh pemerintah, yaitu dengan mendorong penerimaan negara yang lebih tinggi dan melakukan penyesuaian belanja negara.

Namun, penyesuaian belanja negara akan sulit dilakukan di tengah proses pemulihan ekonomi, serta pemerintah juga masin perlu memberikan stimulus fiskal hingga 2023.

Oleh karena itu, Yusuf menilai pendekatan yang lebih ideal adalah dengan mendorong penerimaan negara, baik dari sisi penerimaan pajak maupun nonpajak.

Meski demikian, tantangannya tidak mudah dikarenakan rasio penerimaan pajak Indonesia yang rendah saat pandemi, bahkan sebelum adanya pandemi Covid-19.

“Tentu ini akan menambah tantangan dari proses konsolidasi fiskal. Tantangan lain dari penerimaan pajak, yaitu proses deindustrialisasi yang saat ini sedang terjadi, padahal kita tahu bahwa sektor ini merupakan sektor penyumbang pajak terbesar dibandingkan sektor lain,” katanya kepada Bisnis, Rabu (23/6/2021).

Sementara, Yusuf mengatakan pemerintah juga memiliki tantangan dalam mendorong penerimaan nonpajak, terlihat dari realisasi lifting minyak dan gas yang cenderung melambat dan menurun. Karenanya, perlu ada upaya untuk kemudian bisa mendorong PNBP Migas ke level yang lebih optimal.

Di sisi pembiayaan, Yusuf menilai risiko dari tingginya rasio utang pemerintah terhadap PDB juga besar, sehingga risiko persepsi investor juga berpotensi meningkat.

“Dengan persepsi yang lebih besar, umumnya investor akan meminta imbal hasil yang lebih besar. Hal ini akan mempengaruhi kewajiban beban bunga utang pada keberlanjutan fiskal di kemudian hari,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper