Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah tengah bersiap menghadapi pesatnya pemulihan ekonomi global yang dapat memicu gejolak Taper Tantrum. Kebijakan tapering yang dilakukan bank sentral di negara maju berpotensi memengaruhi sektor keuangan, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.
Pemerintah tengah mengantisipasi potensi terjadinya taper tantrum yang juga dapat menyebabkan terjadinya aliran modal keluar asing atau capital outflow dari pasar keuangan dalam negeri.
Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri berpandangan berbeda. Menurutnya, tidak perlu adanya Taper Tantrum untuk bisa memicu terjadinya capital outflow.
Pasalnya, Yose menyebut ketidakseimbangan pemulihan antara negara maju dan berkembang, serta kondisi penyebaran Covid-19 yang semakin buruk secara tidak langsung dapat menyebabkan perginya modal asing dari pasar keuangan dalam negeri.
“Kita [Indonesia] masih tergopoh-gopoh dalam mengatasi masalah kesehatan. Ini berarti ada imbalance, tidak perlu Taper Tantrum untuk membuat capital outflow,” jelas Yose kepada Bisnis, Rabu (16/6/2021).
Menurutnya, hal utama yang perlu didorong lebih dulu adalah mempercepat pemulihan ekonomi. Adapun, pemulihan ekonomi dari krisis akibat pandemi Covid-19, katanya, hanya dapat dicapai dengan mempercepat upaya vaksinasi secara masif.
Vaksinasi Covid-19 juga menurutnya dapat mengatasi masalah ketidakseimbangan lainnya, yaitu antara demand dan supply. Pasalnnya, krisis seperti pandemi sangat berdampak pada sektor riil, seperti yang sekarang terjadi di mana dunia usaha cenderung menurunkan operasional usaha dan menurunnya investasi.
Dia memberi contoh ketika jumlah orang yang sudah divaksin 50 persen, ekonomi Amerika Serikan langsung bergerak secara cepat.
“Kemudian sekarang dengan adanya pemulihan ekonomi secara cepat, demand-nya meningkat pesat. Di Amerika Serikat terutama, ketika jumlah orang yang sudah divaksin 50 persen, ekonomi mereka langsung ngebut. Permintaannya tinggi, sehingga tidak bisa dikejar oleh supply. Akhirnya, yang terjadi adalah overheating dari perekonomian, dan meningkatnya inflasi sehingga direspon dengan monetary policy,” jelasnya.