Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan tapering off yang berpeluang mulai diambil oleh bank sentral Amerika Serikat, The Fed, diperkirakan tidak akan berdampak masif ke sektor riil.
Berbeda dengan situasi 2013, langkah untuk pengetatan quantitative easing diyakini akan berlangsung secara bertahap sehingga berbagai negara bisa lebih antisipatif.
Peneliti senior Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah memperkirakan dampak lanjutan tapering ke sektor riil akan tergantung pada seberapa besar dampaknya ke nilai tukar dan sektor keuangan. Tetapi, dia meyakini kebijakan pengetatan akan diambil The Fed secara bertahap sehingga dampaknya minimal.
“The Fed sudah menjanjikan untuk lebih terbuka dan terencana melakukan tapering. Mereka juga tidak ingin ada guncangan di pasar global. Dengan komunikasi yang lebih terbuka, pasar bisa mengantisipasinya dengan lebih baik sehingga tidak terjadi guncangan,” kata Piter, Rabu (16/6/2021).
Meski demikian, dia mengatakan pemerintah tetap harus mempersiapkan kebijakan antisipatif menghadapi kemungkinan terburuk meski situasi saat ini lebih baik dibandingkan dengan fenomena taper tantrum pada 2013.
Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah adalah menyiapkan bantalan jika rupiah tertekan kala gelombang keluarnya modal asing terjadi imbas dari pengetatan quantitative easing di Amerika Serikat.
Baca Juga
“Kalau rupiah nanti tertekan, kita punya bemper. Cadangan devisa kita cukup untuk menahan pelemahan sehingga tidak terlalu dalam [depresiasinya] dan tidak membahayakan impor, termasuk inflasi sampai pertumbuhan ekonomi,” kata dia.
Sebagaimana diwartakan Bisnis, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan bahwa risiko taper tantrum mungkin terjadi.
Sri Mulyani mengatakan bahwa ekspektasi pemulihan ekonomi yang cepat dan nyata memberi dampak nyata pada naiknya inflasi Amerika Serikat.
Hal tersebut membuat Negeri Paman Sam akan merespons dalam berbagai kebijakan, terutama kebijakan bank sentral, Federal Reserve, yang kemungkinan besar kembali membeli surat utangnya. Kondisi ini akan memicu pengetatan.
“Ini memicu capital outflow dari semua emerging market, termasuk Indonesia. Sehingga saat terjadi spekulasi atau kekhawatiran itu, capital outflow terjadi dan menekan nilai tukar termasuk surat berharga negara atau SBN,” katanya saat rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (14/6/2021).
Sri Mulyani menjelaskan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan terus melakukan pendalaman pasar keuangan.