Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga riset Reforminer Institute menilai proses transisi energi di Indonesia, terutama pada sektor kelistrikan kemungkinan tidak akan berjalan dengan mudah.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa sampai dengan saat ini kegiatan penyediaan tenaga listrik di Indonesia masih cukup tergantung pada batu bara.
"Porsi realisasi produksi listrik dari batu bara mencapai 66,3 persen dari total produksi listrik pada tahun 2020. Sejalan dengan mulai tercapainya commercial operating date program 35.000 MW, porsi produksi listrik dari batu bara diproyeksikan akan meningkat menjadi sekitar 70,10 persen pada 2024 mendatang," ujar Komaidi melalui keterangan tertulis, Selasa (15/6/2021).
Sementara itu, realisasi porsi produksi listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) yang terbesar terjadi pada 2020, sekitar 14 persen terhadap total produksi listrik nasional.
Porsi listrik berbasis EBT meningkat akibat berkurangnya produksi listrik dari gas sebesar 13.368 gigawatt hour (GWh). Sementara itu, produksi listrik berbasis EBT pada tahun tersebut tercatat hanya meningkat sebesar 4.906 GWh.
Komaidi menuturkan bahwa pada 2025 akan menjadi periode krusial bagi industri listrik berbasis EBT. Produksi listrik
Berbasis EBT ditargetkan meningkat sebesar 35.974 GWh, meningkat dari 46.202 GWh pada 2024 menjadi 82.176 GWh pada 2025. Peningkatan produksi listrik berbasis EBT tersebut memiliki peran penting untuk dapat menggantikan produksi listrik berbasis fosil yang pada 2025 ditargetkan turun sebesar 14.897 GWh.
"Reforminer menilai dari sejumlah jenis EBT yang dimiliki Indonesia, sumber energi panas bumi dapat dikatakan merupakan jenis EBT paling potensial untuk dapat mengakomodasi kebijakan transisi energi di sektor kelistrikan Indonesia," katanya.
Dia menuturkan bahwa Indonesia memiliki potensi energi panas bumi sekitar 29.544 MW atau setara dengan 47,30 persen dari total kapasitas pembangkit di Indonesia yang sampai dengan Desember 2020 tercatat sebesar 62.449 MW.
Selain memiliki potensi yang besar, menurutnya, produksi listrik dari panas bumi dapat berperan sebagai base load sebagaimana produksi listrik yang selama ini diproduksikan dari gas dan batu bara.
Keunggulan lainnya capacity factor (CF) pembangkit listrik panas bumi (PLTP) dapat mencapai kisaran 90 persen, lebih tinggi dari CF PLTS yang tercatat sekitar 18 persen dan PLTB (bayu/angin) sekitar 30 persen.
Sebagian besar produksi listrik berbasis EBT yang diproduksikan dari selain panas bumi umumnya memiliki sejumlah kendala dan bersifat intermiten (terputus-putus). Konsekuensi dari sifat intermitensi tersebut memerlukan kesiapan sistem kelistrikan untuk dapat menerimanya.