Cari berita
Bisnis.com

Konten Premium

Bisnis Plus bisnismuda Koran Bisnis Indonesia tokotbisnis Epaper Bisnis Indonesia Konten Interaktif Bisnis Indonesia Group Bisnis Grafik bisnis tv

Ditjen Pajak Godok Aturan Teknis PPh Perusahaan Digital

Aturan teknis ini disusun sejalan dengan disepakatinya tarif pajak minimum global sebesar 15 persen oleh G7, pada pekan lalu.
Tegar Arief
Tegar Arief - Bisnis.com 14 Juni 2021  |  08:33 WIB
Ditjen Pajak Godok Aturan Teknis PPh Perusahaan Digital
Karyawan berkomunikasi di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Senin (10/6/2019). - Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas fiskal mulai menyiapkan aturan teknis dari UU No. 2/2020, terutama yang terkait dengan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan digital yang meraup pendapatan di Indonesia, meski tidak berkantor di Tanah Air.

Aturan teknis ini disusun sejalan dengan disepakatinya tarif pajak minimum global sebesar 15 persen oleh G7, pada pekan lalu. “Aturan teknis disusun, toh payung hukum besarnya sudah ada,” kata sumber Bisnis di pemerintahan, Minggu (13/6/2021).

Melalui UU No. 2/2020 pada dasarnya pemerintah tetap mengedepankan pengenaan PPh melalui adanya perubahan threshold bentuk usaha tetap (BUT) untuk menjamin hak pemajakan.

Jika terkendala oleh Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), pemerintah akan menggunakan instrumen Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Adapun sejauh ini, otoritas fiskal hanya memungut transaksi digital dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan ada dua poin besar terkait dengan isu pajak dalam G7, yakni global minimum tax dan memberikan hak pemajakan ke negara pasar (market jurisdiction) melalui formulary apportionment.

Terkait dengan poin pertama menurutnya tidak ada kaitannya dengan perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia. Hal yang terkait dengan pajak digital adalah kesepakatan kedua. Oleh karena itu, menurutnya pemerintah harus menyusun aturan teknis yang menguntungkan negara.

Karena menurutnya, bagi negara berkembang seperti Indonesia, hal yang menjadi urusan adalah hak pemajakan bagi pemerintah terhadap korporasi-korporasi digital yang tidak memiliki kehadiran fisik.

“Untuk Posisi kita, detail teknis kebijakan dalam formulary apportionment haruslah menguntungkan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Jangan sampai, negara yang diuntungkan malah negara-negara maju,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :

pph pajak digital
Editor : Hadijah Alaydrus

Artikel Terkait



Berita Lainnya

    Berita Terkini

    back to top To top