Bisnis.com, JAKARTA – Wacana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada sekolah atau jasa pendidikan melalui revisi UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ditentang oleh salah satu Dirjen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Profesor Nizam menilai wacana tersebut tidak sesuai dengan hukum normatif dunia pendidikan. Menurutnya, pendidikan merupakan sektor sosial dan usaha yang seharusnya bersifat nirlaba.
"Jadi, perlakuan pada usaha pendidikan mestinya seperti perlakuan pada usaha nirlaba lainnya, beda dengan usaha komersial," ujar Nizam kepada Bisnis, Jumat (11/6/2021).
Kekhawatiran yang muncul, salah satunya kian mahalnya biaya sekolah sehingga menjadi tidak relevan dengan kemampuan peserta didik, menjadi alasan kuat mengapa hal tersebut perlu dipertimbangkan kembali. Hal tersebut akan berdampak terhadap jasa pendidikan di Indonesia di tengah kondisi ekonomi saat ini.
Kemendikbud Ristek sebagai salah satu pemegang kepentingan utama pun ternyata masih belum mengetahui wacana yang sudah dibahas dalam rapat di DPR RI beberapa waktu lalu. Saat ini, kata Nizam, kementerian baru akan mempelajari revisi berjumlah hampir 150 halaman tersebut.
Kekhawatiran tersebut cukup masuk akal. Sebab, penerapan PPN tersebut akan berdampak pada tren tingkat partisipasi masyarakat usia 7-24 tahun dalam pendidikan yang tercatat stabil dalam 10 tahun terakhir berpotensi berbalik negatif pada masa mendatang.
Baca Juga
Menurut data Badan Pusat Statistik, tingkat partisipasi masyarakat usia 7-24 tahun di Tanah Air cenderung membaik, yakni di kisaran 97 - 99 persen untuk usia 7-12 tahun; 87 - 95 persen untuk usia 13 - 15 tahun; 57 - 71 persen untuk usia 16 -18 tahun; dan 14 - 22 persen untuk 19-24 tahun.
Pengenaan pajak pun akan menambah beban peserta didik yang besar kemungkinan belum lepas dari dampak finansial akibat terdampak pandemi Covid-19. Adapun, berdasarkan draf revisi UU No. 6/1983, pemerintah menetapkan pengenaan PPN dengan batas bawah 5 persen dan batas atas 12 persen.