Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha industri sawit mengaku tak mengalami hambatan besar untuk akses pasar produk sawit dan turunannya ke negara-negara anggota Uni Ekonomi Eurasia (EAEU), meski harus menghadapi sejumlah kebijakan yang kurang akomodatif.
Sebagaimana diketahui, Rusia sebagai salah satu mitra terbesar RI di antara blok ekonomi tersebut memberlakukan pajak pertambahan nilai sebesar 20 persen.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan produk sawit memang tak lagi menikmati keistimewaan tarif saat masuk ke pasar negara tersebut.
“Meski demikian kita tetap unggul. Jika dibandingkan dengan minyak bunga matahari yang mereka produksi, selisih harganya mencapai US$350 per ton. Sawit tetap lebih murah,” kata Sahat, Minggu (6/6/2021).
Ketentuan soal standar 3-monochlorpro-pandiol (3-MCPD) esters dan glycidol esters (GE), senyawa kontaminan yang terbentuk dari proses penyiapan bahan pangan menggunakan suhu pemanasan tinggi, dinilai Sahat juga tak terlalu menjadi masalah.
Dia mengatakan ketentuan tersebut hanya berlaku untuk refined bleached deodorized olein (RBDO). Sementara itu, ekspor Indonesia dalam bentuk CPO terbilang cukup tinggi.
“Sebagian CPO dan RBDO karena mereka memang punya fasilitas pemurnian meski terbatas. Jadi ekspor tidak ada masalah,” kata dia.
Di sisi lain, Sahat menjelaskan pula sebagian besar perusahaan sawit di Indonesia telah mampu memproduksi RBDO sesuai dengan kriteria yang dikehendaki oleh importir. Kendati demikian, di Indonesia sendiri belum ada regulasi rigid yang mengatur batas kontaminan untuk RBDO.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor minyak nabati dan turunannya ke negara-negara EAEU naik dari 718.042 ton pada 2019 menjadi 745.205 ton pada 2020. Kenaikan volume ini diikuti dengan nilai ekspor yang bertambah dari US$410,13 juta menjadi US$524,77 juta pada 2020.