Bisnis.com, JAKARTA – Upaya Indonesia untuk memperdalam perdagangan dengan negara-negara anggota Uni Ekonomi Eurasia (EAEU) dinilai memiliki peluang besar.
Namun, Indonesia perlu memastikan pelaku usaha di dalam negeri mendapat asistensi teknis agar bisa mengakses pasar kawasan tersebut.
“Jika memang ingin menembus pasar Eurasia, dalam hal perumusan kesepakatan dagang, baik PTA [Perferential Trade Agreement] maupun FTA [Free Trade Agreement], jangkauannya tidak bisa hanya soal penurunan tarif. Namun juga perlu mencakup asistensi teknis agar produk Indonesia bisa memenuhi standar pasar di sana,” kata ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, Minggu (6/6/2021).
Faisal menilai aspek dukungan teknis krusial dalam menunjang perdagangan kedua entitas mengingat negara-negara Eropa Timur, terutama Rusia, terkenal ketat dalam memberlakukan standar untuk berbagai barang yang masuk ke kawasannya.
Regulasi yang rigid tersebut berlaku tak hanya untuk produk asal negara berkembang, tetapi juga dari negara-negara maju.
“Jika tidak demikian, produk kita akan sulit masuk ke sana dan justru banyak produk mereka yang masuk ke pasar Indonesia karena hambatan teknis kita tidak serumit mereka,” lanjut Faisal.
Selain persoalan teknis, Faisal menyoroti pula hambatan konektivitas yang mungkin dihadapi Indonesia jika menjalin hubungan perdagangan dengan negara mitra nontradisional seperti Armenia, Kazakhstan, dan Kirgistan yang tidak memiliki pelabuhan dan terkurung daratan (landlocked).
Berbeda dengan mitra tradisional, rute perdagangan pun tidak memanfaatkan rute langsung dan cenderung kurang efisien.
“Dengan negara-negara ini tidak ada jalur point-to-point, harus melalui negara lain. Dalam perundingan perlu dibahas juga bagaimana terbentuk jalur logistik yang efisien dan ini memang tantangan dengan banyak negara nontradisional,” kata Faisal.
Mayoritas perdagangan Indonesia dengan negara-negara EAEU sendiri terjalin lewat relasi dengan Rusia dan Belarusia. Pada 2020 misalnya, impor terbesar disumbang lewat masuknya produk dari Rusia dengan nilai US$957,88 juta, dari Belarusia 158,17 juta, dan dari Kazakhstan senilai US$130,08 juta.