Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan akan menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (OP), khususnya untuk high wealth individual.
Pengamat pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menyampaikan bahwa rencana pemerintah tersebut akan memiliki dampak yang positif di tengah penerimaan pajak yang tertekan akibat pandemi Covid-19.
Apalagi, imbuhnya, beberapa organisasi internasional seperti Economic Cooperation and Development (OECD) dan Asian Development Bank (ADB) telah merekomendasikan pengenaan pajak bagi kelompok masyarakat kaya.
Pada 2020 misalnya, beberapa negara telah melakukan reformasi pajak melalui peningkatan tarif PPh OP seperti Korea Selatan, Spanyol, dan beberapa negara lainnya.
“Terkait dengan rencana penyesuaian kebijakan PPh OP khususnya dengan adanya penambahan tax bracket baru dengan tarif lebih tinggi tersebut, tentu sesuatu yang baik,” katanya kepada Bisnis, Selasa (25/5/2021).
Menurut Darussalam, rencana ini juga relevan di Indonesia mengingat penerimaan PPh OP yang belum optimal hingga saat ini.
Baca Juga
Di samping itu, peningkatan tarif pajak bagi kelompok kaya juga dinilai sebagai upaya untuk mengurangi ketimpangan ekonomi.
Namun demikian, dia memberi catatan bahwa penghasilan orang kaya kemungkinan bersumber dari penghasilan pasif yang notabenenya bersifat final. Karenanya, pemungutan pajak atas kelompok masyarakat ini juga perlu mempertimbangkan skema lain, misalnya pajak berbasis kekayaan, pajak warisan, dan lainnya.
“Selain itu, kebijakannya juga harus ditopang dengan terobosan administrasi untuk menjamin kepatuhannya,” jelasnya.
Adapun, rencana pemerintah ini juga tertuang dalam Buku Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2022, yang menyebutkan rencana pemerintah untuk menambah layer pendapatan dan memperbaiki tarif PPh OP.
“Menambah layer pendapatan dan memperbaiki tarif PPh OP untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih sehat dan adil,” tulis Kemenkeu.
Sejalan dengan rencana itu, Kemenkeu mencatat rasio perpajakan atau tax ratio pada 2020 mengalami penurunan hingga di bawah 9 persen.
Pada 2020 pun, realisasi penerimaan pajak hanya tercatat sebesar Rp1.069,98 triliun. Jumlah tersebut meleset dari target yang ditetapkan dalam Perpres No. 72/2020 sebesar Rp1.198,82 triliun.
Dibandingkan dengan 2019, penerimaan pajak ini mengalami kontraksi sebesar 19,71 persen. Penurunan yang dalam ini sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Karena itu, pemerintah akan melakukan reformasi perpajakan untuk mendukung arah kebijakan fiskal pada 2022.
Darussalam juga memperkirakan tahun ini masih akan terjadi shortfall dari target yang ditetapkan sebesar Rp1.229 triliun. Dia memperkirakan penerimaan pajak hingga akhir tahun akan berkisar antara Rp1.139 triliun hingga Rp1.198 triliun.
Namun, dia menilai jika berbagai rencana yang sejauh ini akan dituangkan dalam revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dapat disahkan dan efektif diimplementasikan, maka target penerimaan pajak Rp1.499,3 hingga Rp1.528,7 triliun pada 2022 akan dapat tercapai.
“Atas perubahan kebijakan tersebut yang disertai pembenahan administrasi yang terus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, terdapat optimisme kita bisa mempercepat pemulihan penerimaan pajak serta tax ratio kita di jangka menengah,” tuturnya.