Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah seharusnya berhati-hati saat memutuskan untuk berhenti menyalurkan sejumlah bantuan di pos perlindungan sosial dalam alokasi anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Padahal, menurut Yusuf, kepercayaan konsumen belum kembali sepenuhnya seperti pada level sebelum pandemi. Adapun, Bank Indonesia (BI) mencatat indeks keyakinan konsumen (IKK) Maret 2021 sebesar 93,4.
“Penarikan bantuan khususnya perlindungan sosial ini memang perlu dilakukan secara hati-hati karena bantuan ini akan sangat memengaruhi daya beli khususnya kelompok pendapatan menengah, khususnya menengah ke bawah,” jelas Yusuf dalam diskusi virtual, Selasa (27/4/2021).
Sejumlah stimulus yang sudah tidak lagi disalurkan pemerintah di antaranya adalah subsidi gaji bagi karyawan dan bantuan sosial tunai (BST). Padahal, total anggaran PEN untuk 2021 naik sebesar 21 persen dari realisasi tahun sebelumnya menjadi Rp699,43 triliun.
Maka itu, Yusuf mempertanyakan apakah keputusan untuk menurunkan angka anggaran untuk perlinsos di tengah kenaikan anggaran PEN merupakan hal tepat yang dilakukan oleh pemerintah.
Yusuf menjelaskan dunia, termasuk Indonesia, cukup bersandar pada kebijakan fiskal untuk menangani pandemi Covid-19, terlebih untuk mengantisipasi dampak gelombang kedua pandemi. Hampir seluruh negara menganggarkan 2,5 sampai 5 persen anggarannya terhadap PDB untuk menangkal dampak pandemi.
Baca Juga
“Bentuk stimulus fiskal yang diberikan oleh pemerintah juga relatif sama di seluruh belahan dunia. Artinya, bentuknya bisa berupa tambahan belanja, pendapatan yang ditahan, dan pinjaman langsung kepada bantuan kepada masyarakat,” katanya.