Bisnis.com, YOGYAKARTA – Dari tahun ke tahun, anggaran Dana Desa terus mengalami peningkatan. Pada 2019, besaran anggarannya mencapai Rp70 triliun.
Sementara itu, angkanya bertambah Rp2 triliun hingga menjadi Rp72 triliun pada 2020. Memasuki pandemi, anggaran Dana Desa tidak mengalami perubahan yang berarti.
Meskipun demikian, kini perannya semakin vital. Tak hanya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di daerah, tapi juga membantu percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Wamen PDTT), Budi Arie Setiadi menyampaikan bahwa setidaknya ada 3 prioritas fokus anggaran Dana Desa di tahun 2021. Pertama, fokusnya untuk mempercepat PEN sesuai kewenangan desa. Caranya beragam, salah satunya dengan pengembangan dan revitalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau BUMDes Bersama.
Kedua, dana desa difokuskan untuk menjalankan program prioritas nasional seperti pendataan desa, pemetaan potensi dan sumber daya, pengembangan teknologi, hingga penguatan ketahanan pangan. Ketiga, anggaran Dana Desa pada tahun 2021 secara khusus akan diprioritaskan untuk membangun Desa Aman Covid-19.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Budiman Sudjatmiko, menilai bahwa prioritas penggunaan anggaran tersebut sudah tepat dilakukan pemerintah. Tak hanya itu, pengembangan BUMDes, menurutnya, sudah semestinya menjadi perhatian. Karena di masa depan, model usaha tersebut bakal berkontribusi besar bagi perekonomian baik di tingkat daerah ataupun nasional.
Baca Juga
“BUMDes ini kan sudah dilindungi Undang-Undang Desa. Mereka (BUMDes) dekat dengan masyarakat, dekat dengan Sumber Daya Alam, ada Sumber Daya Finansial dalam bentuk dana desa yang bisa dialokasikan BUMDes. Justru dalam keadaan seperti ini, BUMDes harus bisa mengambil peran,” jelasnya kepada Bisnis, pekan lalu (23./4/2021).
Budiman berpendapat bahwa diperlukan sejumlah langkah inovatif agar BUMDes tersebut dapat memanfaatkan momentum pasca pandemi.
Menurutnya, berbagai kerjasama dapat dilakukan BUMDes untuk mengembangkan usahanya. Tak terkecuali dalam bentuk pendanaan atau investasi. “Memang, di Undang-Undang Desa dimungkinkan investasi pihak ketiga, asalkan mayoritas desa yang pegang [kendali usaha],” jelasnya.
Persoalannya kini, sebagian besar Pemerintah Desa masih menggunakan cara pikir yang sederhana. “Masih banyak desa kita berpikir agraris, belum industrial. Bukan artinya [kita harus] meninggalkan pertanian. Bukan. Pertanian tetap dijalankan tetapi dikelola dengan cara industri. Bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” jelasnya.
BUMDes mesti bisa berinovasi dengan mengolah produk hasil pertanian agar memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk meningkatkan margin keuntungan yang nantinya bakal dinikmati kembali oleh masyarakat desa.
Pola pikir industrial tersebut telah berhasil dijalankan oleh BUMDes Panggung Lestari. Menggandeng mitra PT. Sinergi Panggung Lestari, badan usaha tersebut sukses memproduksi minyak tamanu yang dikirimkan hingga ke Eropa dan Afrika.
“Minimal 200 kilogram per pengiriman, omzetnya sekitar Rp50 – 100 juta. Negara lain sudah menyatakan tertarik, tapi kami masih berproses untuk mencapai sertifikasi organik, untuk standar ekspor,” jelas Aufa Sabili, Kepala Pengembangan Korporasi PT. Sinergi Panggung Lestari.
Selain diekspor, minyak tamanu hasil produksi BUMDes tersebut juga disalurkan ke beberapa perusahaan kosmetik yang tersebar di Pulau Jawa. Menurut Aufa, setidaknya BUMDes Panggung Lestari telah rutin menyediakan bahan baku produksi bagi 10 perusahaan dalam negeri.
Penyediaan modal awal serta operasional harian usaha tersebut dilakukan dalam bentuk kerjasama pihak ketiga. PT. Sinergi Panggung Lestari membuka jalur distribusi bahan baku minyak tamanu yang utamanya berasal dari luar DI Yogyakarta. Setiap bulannya, 5 – 7 ton buah tamanu didatangkan dari Purworejo, Cilacap, Kebumen, Blitar, dan Banyuwangi. Sementara itu, mesin dan teknologi produksi telah disediakan oleh Pemerintah Desa.
Keberadaan BUMDes Panggung Lestari menjadi bentuk optimisme tersendiri di tengah masa pandemi. Pasalnya, perlahan tapi pasti, usaha tersebut mampu untuk terus berkembang dan memperluas jangkauan pemasarannya. Hal tersebut seperti memberikan alternatif di tengah maraknya BUMDes yang bergerak di sektor pariwisata.
Abdul Halim Iskandar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), mengungkapkan bahwa hingga 12 April 2021, realisasi anggaran Dana Desa telah mencapai 45 persen. “Dari Rp72 triliun Dana Desa tahun ini, yang sudah cair masuk ke desa sebanyak Rp11,361 triliun yang tersalur ke 34.053 desa dari 74.961 desa,” jelasnya dalam keterangan resmi.
Dana Desa tersebut tentunya tak hanya bermanfaat bagi perekonomian pedesaan di masa pandemi. Apabila dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin Dana Desa tersebut bisa memberikan keuntungan dan manfaat yang lebih besar.
Menurut Budiman, potensi inilah yang mesti diingat Pemerintah Desa. “Anda punya sesuatu, desa punya sesuatu, biaya [modal dari Dana Desa]. Pengusaha besar pun tidak punya,” tegas Budiman.