Bisnis.com, JAKARTA – Kompetisi industri fesyen di kancah global dikatakan kian ketat. Perbedaan ongkos produksi disinyalir menjadi penyebab kalah kompetitifnya industri fesyen dalam negeri dibandingkan dengan beberapa negara pesaing.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan sejumlah beberapa negara seperti Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh justru muncul sebagai kompetitor bagi RI. Faktornya, kata Faisal, ongkos produksi di negara tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan industri dalam negeri.
"Kompetisi industri fesyen dunia makin ketat karena negara-negara lain sudah kompetitif dari Indonesia. Mulai dari upah buruh yang lebih rendah untuk industri tekstil sebagai bahan utama dari produk fesyen pakaian," ujarnya, Rabu (21/4/2021).
Selain itu, lanjutnya, harga tekstil sebagai abhan utama dari produk pakaian di Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh terhitung relatif lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia.
"Contohnya, di Bangladesh, untuk logistik ditaruh di kawasan industri yang dekat dengan pelabuhan sehingga dapat memangkas ongkosnya," lanjutnya.
Mengacu data BPS, ekspor produk fesyen Indonesia mengalami penurunan cukup signifikan. Nilai total ekspor produk seperti pakaian, perhiasan, arloji, dan alas kaki secara keseluruhan mencatatkan penurunan sejak 2019 silam.
Baca Juga
Penurunan terjadi pada 2019 di mana nilai ekspor untuk keempat produk utama dunia fesyen tersebut anjlok dari US$727 juta menjadi US$664 juta. Hantaman pandemi Covid-19 kemudian memperparah kondisi ekspor produk-produk fesyen RI.
Tahun lalu, BPS mencatat untuk keempat produk yang sama kembali terjadi penurunan nilai ekspor. Pada 2020, nilai ekspor untuk produk pakaian, alas kaki, perhiasan, dan arloji hanya senilai US$651 juta.
Terkait dengan kondisi tersebut, pelaku indsutri produk fesyen dalam negeri diminta mampu melakukan perluasan pasar dengan melihat tren yang berkembang.
Menurut Faisal, produk-produk fesyen Indonesia tidak hanya mengedepankan ekspor ke negara-negara tujuan tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman. Melainkan juga menyasar ke negara-negara dengan populasi muslim yang dinilai cukup prospek untuk disasar ke depannya.