Bisnis.com, JAKARTA - Perkiraan pemerintah terkait pertumbuhan ekonomi di triwulan II/2021 di angka 7 persen dianggap terlalu ambisius.
Ada beberapa catatan yang membuat produk domestik bruto tidak setinggi itu meski pada periode yang sama tahun lalu jatuh cukup dalam, yaitu minus 5,32 persen (low base effect).
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa pertama adalah vaksinasi yang menjadi pengubah permainan (game changer) dari Covid-19 masih ada kendala dari sisi kepastian pasokan.
“Lalu pertumbuhan sektoral tidak sama. Sektor-sektor yang berorientasi pada komoditas dan ekspor mungkin agak terbantu karena Amerika Serikat dan China ekonominya sudah pulih sehingga permintaan barang dari Indonesia sudah mulai meningkat,” katanya saat dihubungi, Senin (12/4/2021).
Bhima menjelaskan bahwa hal tersebut tidak untuk sektor yang berputar di dalam negeri seperti transportasi, pariwisata, dan perhotelan. Ditambah dengan larangan pulang kampung di hari lebaran, industri tersebut bakal masih terpukul.
“Jadi saya tidak sepakat kalau tumbuhnya 7 persen. Kita bisa tumbuh 1 persen sampai 2 persen saja sudah prestasi di triwulan II/2021,” jelasnya.
Baca Juga
Pelarangan mudik, kata Bhima, berdampak cukup besar. Sektor jasa transportasi misalnya, mereka bisa menyumbang lebih dari Rp200 triliun. Padahal industri ini kenaikannya bisa dilacak dan hanya pada momen tertentu.
Ini tentu akan berkaitan dengan stimulus pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan. Penjualan otomotif tidak akan melonjak dengan adanya pelarangan pulang kampung
“Kemudian pendapatan BUMN. Pendapatan jasa jalan tol yang termasuk yang berdagang di rest area itu pasti mengalami tekanan. Maksudnya belum akan seperti lebaran sebelum Covid-19. Jadi, pengaruhnya ke kinerja konsumsi rumah tangga, kemudian juga belanja pemerintah sepetirnya tidak akan jauh berbeda dengan tahun lalu,” ucapnya.