Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22/2021 akhirnya mengecualikan sembilan komponen yang dianggap limbah dari bahan beracun berbahaya (B3).
Melalui Lampiran XIV dari PP tersebut KLHK menyebut sembilan limbah yang sudah dikeluarkan dari B3 yakni slag besi dan baja, slag nikel, mill scale, debu electric arc furnace (EAF), PS ball, fly ash bottom ash (FABA) dari PLTU, Spent Bleaching Earth (SBE), dan pasir foundry.
Dengan demikian benefit utama untuk pelaku industri tentunya pengurangan biaya produksi pengolahan limbah. Pasalnya, ketika menjadi B3 pengusaha harus memproses setiap limbah yang dihasilkan dengan resmi dan pemanfaatannya membutuhkan izin yang ketat.
Namun, ketika dikonfirmasi kapasitas limbah-limbah tersebut selama ini, Direkrur Jendral Pengeloaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengaku tidak memiliki datanya. Dia pun hanya berharap industri bisa memanfaatkannya.
"Harapan saya, dengan regulasi baru ini, dapat dipergunakan untuk memanfaatkan limbah baik faba atau sawit dengan baik, karena limbah-limbah ini sebenarnya masih bisa dipakai kembali, dan dapat memotong cost untuk pengelolaan limbahnya," katanya kepada Bisnis, Senin (22/3/2021).
Adapun PP tersebut, mengganti ketentuan dalam PP Nomor 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah B3.
Vivien sebelumnya menyebut regulasi PP 101/2014 sebenarnya juga sudah membuka ruang jika perusahaan ingin mengajukan pengecualian.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan pada PP 101/2014 yang diteken tiga jam sebelum era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhenti memang cukup memprihatikan, khususnya industri sawit. Pasalnya, di sejumlah negara lain, seperti Malaysia misalnya, SBE sudah diolah dan dimanfaatkan.
"Kalau dulu di PP 101 itu Indonesia ini memang hebat, ada 793 kategori yang masuk jenis limbah padahal di Jepang hanya 420 dan India 685," katanya.