Bisnis.com, JAKARTA – Regulasi yang mengatur diskon harga di platform dagang digital dinilai bisa membuat pelaku usaha mengalihkan aktivitas transaksi dari kanal resmi ke media sosial jika benar-benar diterapkan.
Transaksi lewat perdagangan lewat media sosial sendiri cenderung sulit diawasi dan terjadi dengan dasar kepercayaan antara penjual dan pembeli.
Mengutip data Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan 66 persen transaksi perdagangan secara digital dilakukan lewat media sosial pada 2017.
Artinya, hanya ada 34 persen transaksi yang dilakukan lewat platform resmi e-commerce. Data McKinsey menunjukkan bahwa nilai transaksi e-commerce pada tahun tersebut mencapai US$8 miliar.
“Bisa ada pergeseran ke media sosial. Selama ini pelapak sudah banyak yang double account,” kata dia, Selasa (16/3/2021).
Alih-alih mengatur diskon, Bhima mengusulkan agar pemerintah lebih fokus ke pengaturan produk yang dipasarkan lewat platform dagang digital.
Baca Juga
Dia menyebutkan regulator bisa mengadopsi ketentuan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 17/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern yang mewajibkan peritel untuk menjual 80 persen produk lokal di gerainya.
“Sebenarnya diskon ini kan untuk mengurangi tekanan produk impor ke produk UMKM lokal, kenapa pemerintah tidak adopsi saja kebijakan mandatori untuk penjualan produk lokal sekian persen?” kata dia.
Bhima mengatakan kebijakan tersebut lebih mudah diterapkan karena perusahaan e-commerce bisa lebih mudah mengolah data lewat adopsi teknologinya, termasuk data asal barang atau country of origin. Dia menilai regulasi soal diskon, potongan harga, dan cashback bisa lebih rumit karena menyangkut strategi bisnis masing-masing perusahaan.
Adapun untuk isu predatory pricing yang mengemuka seiring dengan pembahasan regulasi ini, dia mengatakan bahwa Indonesia sejatinya telah memiliki mekanisme penyelidikan akan praktik perdagangan tidak adil lewat kehadiran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Komite Antidumping Indonesia (KADI).
“Kalau memang ada predatory pricing yang merusak pasar kan sudah ada mekanisme penyelidikannya, meski untuk di e-commerce sekalipun,” kata dia.