Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah akhirnya memberikan insentif bagi bisnis properti dengan menetapkan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi rumah tapak dan rumah susun (apartemen) dengan harga kurang dari Rp2 miliar.
Selain itu, PPN hanya diberlakukan 50 persen bagi penjualan rumah tapak atau rusun yang dilepas dengan harga berkisar antara Rp2 miliar hingga Rp5 miliar. Kebijakan ini berlaku selama 6 bulan mulai Maret ini hingga akhir Agustus 2021.
Pemberian insentif terkait dengan PPN ini dapat dikatakan sebagai stimulus konkret yang diyakni dapat menggerakkan bisnis properti di tengah kondisi tertekan akibat pandemi virus corona jenis Covid-19 sejak setahun lalu.
Berbeda dengan kebijakan uang muka (down payment/DP) 0 persen yang dikeluarkan bulan lalu, insrentif menyangkut PPN ini langsung disambut gembira oleh para pemangku kepentingan bisnis properti meski dengan catatan kecil seperti pembatasannya yang hanya untuk stok siap huni.
Terlepas dari catatan kecil itu, jelas bahwa pembebasan PPN untuk hunian kurang dari Rp2 miliar dan PPN 50 persen untuk rumah Rp2 miliar hingga Rp5 miliar merupakan langkah konkret dari pemerintah yang memang layak disebut sebagai stuimulus untuk bisnis properti.
Hal ini berbeda dengan kebijakan DP 0 persen yang efektivitasnya diragukan bakal bisa menggerakkan laju roda bisnis properti.
Baca Juga
Sederhana saja pertimbangannya, DP 0 persen itu pada dasarnya sekadar memberi kemudahan bagi pembeli properti di awal berupa keharusan pemberian DP menjadi ke masa depan dengan jumlah cicilan yang pasti meningkat.
Peningkatan biaya bukan hanya karena konsumen harus membayar cicilan lebih besar karena kredit dibiayai bank 100 persen, melainkan juga disebabkan kemungkinan tenor lebih panjang.
Jadi, wajar jika para pemangku kepentingan bisnis properti menyambut jauh lebih antusias kebijakan terkait dengan PPN ini dibhandingkan dengan pembebasan uang muka.
Yang terpenting sekarang, bagaimana kalangan perbankan benar-benar memainkan perannya sebagai baut penting dalam membantu bergeraknya roda bisnis properti. Seyogianya jangan terdengar lagi keluhan dari pengembang bahwa bank bgitu selektif mengucurkan KPR sehingga menekan daya beli konsumen.
Sikap perbankan yang sangat selektif dalam memberikan persetujuan KPR akan menekan cashflow kalangan developer, sehingga pengembang yang sehat akan menjadi tak sehat lantaran pembheli terganjal persetujuan KPR.