Bisnis.com, JAKARTA – Subsektor perberasan nasional setidaknya harus merasakan kerugian ekonomi sampai Rp15,4 triliun akibat kurang efisiennya pengelolaan pascapanen.
Pemerintah dan pelaku usaha terkait harus fokus menekan biaya agar mengurangi kerugian dan untuk perbaikan kualitas beras.
Pendiri House of Rice Husein Sawit dalam studinya menyebutkan bahwa potensi kehilangan ekonomi dimulai dari proses penggilingan dan pengeringan yang lantas berpengaruh pada rendemen gabah.
Husein memaparkan potensi kehilangan di tahap pengeringan mencapai 3,27 persen dari total produksi yang setara dengan 947.700 ton gabah kering giling (GKG). Kehilangan ini berlanjut di tahap penggilingan sebesar 3,25 persen yang setara 942.900 ton dan rendemen yang susut 2,98 persen atau setara 863.700 ton GKG.
“Kalau ditotal rata-rata kehilangan per tahun adalah 2,8 juta ton. Kalau saya nilai kerugian ekonominya mencapai Rp15,4 triliun,” kata Husein dalam diskusi virtual yang digelar Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Kamis (25/2/2021).
Husein menyebutkan kehilangan ekonomi paling besar disumbang dari penggilingan padi kecil yang jumlahnya mencapai 80 persen dari total kapasitas giling nasional. GKG yang hilang dari pengolahan di skala penggilingan kecil diperkirakan mencapai 2,2 juta ton atau setara dengan Rp12,32 triliun.
Baca Juga
“Kehilangan terbesar disumbang penggilingan padi kecil yang tidak lengkap alat dan mesinnya dan nilainya mencapai Rp12,32 triliun. Banyak sekali kerugian ekonomi yang timbul jika kita tidak mengelola dengan baik proses pascapanen padi,” jelas Husein.
Proses pascapanen yang tidak efisien ini pun menjadi salah satu penyebab mahalnya harga beras di pasar dalam negeri. Husein mencatat aktivitas pemasaran beras yang mencakup pengeringan, transportasi, penggilingan, penyimpanan, dan modal kerja berjalan kurang efisien.
Akibatnya, biaya pemasaran beras Indonesia setidaknya jadi yang tertinggi dibandingkan dengan Asean lain seperti Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Penelitian oleh International Rice Research Institute 2016 menunjukkan indeks biaya giling Indonesia mencapai 317 dibandingkan dengan Thailand yang berada di angka 231 atau Vietnam yang di angka 242.
Tahap penyimpanan pun menyumbang 104 poin dibandingkan dengan Vietnam yang hanya 60. Secara total, biaya pemasaran beras mencapai 1.295 poin, jauh dibandingkan Thailand yang hanya 710.
“Pangsa pemasaran mencapai 70 persen dalam 20 tahun terakhir dan petani hanya mendapatkan 30 persen. Ini juga tidak adil bagi petani. Ke depan adalah bagaimana biaya pemasaran dapat ditekan, terutama di industri penggilingan agar bisa mengurangi loss,” kata Husein.