Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian telah mengajukan usul relaksasi pajak pertambahan nilai barang Mewah (PPNBM) dan melakukan penyesuaian terhadap tarif PPNBM di Peraturan Pemerintah (PP) 73/2019 untuk menggairahkan kembali industri otomotif dan meningkatkan investasi di sektor itu.
Usulan ini telah disampaikan secara langsung kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyambut baik usulan itu dan mengatakan bahwa relaksasi PPNBM dapat meningkatkan kemampuan membeli masyarakat dan memberikan lompatan pada perekonomian.
Stimulus khusus juga diberikan di sejumlah negara lain di dunia untuk industri otomotif selama pandemi. Malaysia melakukan pengurangan pajak penjualan sebesar 100 persen untuk CKD (mobil yang dirakit di dalam negeri) dan potongan hingga 50 persen untuk CBU (mobil yang dirakit di negara asalnya).
Dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini, relaksasi akan dilakukan secara bertahap. Stimulus PPNBM diusulkan untuk dilakukan sepanjang tahun 2021 dengan skenario PPNBM 0 persen (Maret-Mei), PPNBM 50 persen (Juni-Agustus), dan 25 persen (September-November).
Dengan skenario relaksasi bertahap, dapat terjadi peningkatan produksi yang akan mencapai 81.752 unit. Estimasi terhadap penambahan output industri otomotif akan dapat menyumbangkan pemasukan negara sebesar Rp1,4 triliun.
Baca Juga
“Kebijakan tersebut juga akan berpengaruh pada pendapatan negara yang diproyeksi terjadi surplus penerimaan sebesar Rp1,62 triliun,” katanya melalui keterangan pers, Kamis (11/2/2021).
Airlangga menjelaskan bahwa pulihnya produksi dan penjualan industri otomotif akan membawa dampak yang luas bagi sektor industri lainnya. Dalam menjalankan bisnisnya, industri bahan baku berkontribusi sekitar 59 persen dalam industri otomotif.
“Industri pendukung otomotif sendiri menyumbang lebih dari 1,5 juta orang dan kontribusi PDB sebesar Rp700 triliun,” jelasnya
Industri otomotif juga merupakan industri padat karya. Saat ini lebih dari 1,5 juta orang bekerja di sana yang terdiri atas lima sektor, yaitu pelaku industri tier II dan tier III sebanyak 1.000 perusahaan dengan 210.000 pekerja; pelaku industri tier I sebanyak 550 perusahaan dengan 220.000 pekerja.
Selanjutnya, perakitan sebanyak 22 perusahaan dan dengan 75.000 pekerja, dealer dan bengkel resmi sebanyak 14.000 perusahaan dengan 400.000 pekerja, serta dealer dan bengkel tidak resmi sebanyak 42.000 perusahaan dengan 595.000 pekerja.
Sementara itu, perubahan PP 73/2019 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menurunkan Emisi Gas Buang yang bersumber dari kendaraan bermotor. Peraturan tersebut diundangkan tahun 2019 dan akan diberlakukan pada Oktober 2021.
"Perubahan PP ini diharapkan dapat mendorong peningkatan pendapatan pemerintah, menurunkan emisi gas buang, dan meningkatkan pertumbuhan industri kendaraan bermotor nasional. Revisi PP 73/2019 ini akan mengakselerasi pengurangan emisi karbon yang diperkirakan akan mencapai 4,6 juta ton CO2 pada tahun 2035,” ungkap Menko Airlangga.
Skema pajak PPNBM berbasis flexy engine (FE) dan CO2 berdasarkan PP 73/2019 akan mampu mendorong pertumbuhan kendaraan rendah emisi dengan memberikan gap pajak yang cukup dengan kendaraan konvensional. Selain itu juga meminimalkan penurunan industri lokal (teknologi konvensional) dengan menetapkan kisaran pajak sesuai daya beli masyarakat.
Industri pendukung kendaraan listrik juga akan mengalami kenaikan dan diharapkan pada tahun 2025 produksi kendaraan listrik nasional untuk roda empat dapat mencapai 20 persen dari kapasitas produksi atau mencapai 400.000 kendaraan.
Airlangga menjelaskan bahwa usulan perubahan PP 73/2019 mempertimbangkan infrastruktur dari industri otomotif nasional. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan secara gradual yang dapat dievaluasi kembali melihat peningkatan dari infrastruktur kendaraan listrik dan kondisi industri otomotif nasional.
“Usulan perubahan PP 73/2019 akan memberikan dampak positif, di antaranya Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai atau BEV menjadi satu satunya yang mendapatkan preferensi maksimal PPNBM 0 persen. Selain itu, usulan tarif PPNBM untuk PHEV sebesar 5 persen sejalan dengan prinsip semakin tinggi emisi CO2, maka tarif PPnBM semakin tinggi nilai PPNBM-nya,” paparnya.
Harmonisasi skema PPNBM sekaligus memberikan insentif produksi kendaraan listrik di Tanah Air semakin lebih atraktif. Hal ini tidak terlepas dari selisih pajak yang cukup preferable dengan teknologi kendaraan lainnya.
Dalam harmonisasi PPNBM yang baru, akan memakai menggunakan pola BEV skema periode I sebesar 0 persen dan skema periode II 0 persen. Lalu PHEV skema periode I 5 persen dan skema periode II 8. Sedangkan HEV skema periode I 6-8 persen dan 10-12 persen.
Perubahan skema periode I menjadi skema periode II akan dilakukan ketika sudah terdapat industri di dalam negeri yang memproduksi kendaraan listrik berbasis baterai dengan memenuhi batasan ketentuan minimum TKDN.
Perubahan skema tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai katalis dalam pengembangan industri kendaraan bermotor yang lebih ramah lingkungan di Indonesia. Menurut Airlangga, perubahan PP 73/2019 diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi dunia otomotif internasional.
Alasannya, kendaraan listrik terus mengalami kenaikan di Eropa dan Amerika Serikat. Selain itu, dapat mendorong investasi di industri kendaraan bermotor nasional, baik dari sektor hulu maupun hilir yang dapat mendorong penyerapan tenaga kerja.
“Diperkirakan investasi yang akan masuk senilai lebih dari Rp50 triliun sampai dengan lima tahun yang akan datang,” ungkapnya.