Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Usai Perang Dagang dan Teknologi, Perubahan Iklim Jadi Pertarungan Global Berikutnya

Penelitian Bank of America Corp. mengatakan perubahan iklim akan menjadi tema terpenting dalam dekade ini, sama seperti teknologi yang menopang pertumbuhan ekonomi selama dekade terakhir.
Ilustrasi perubahan iklim/library.sbbc.edu
Ilustrasi perubahan iklim/library.sbbc.edu

Bisnis.com, JAKARTA - Lupakan sejenak perang dagang dan teknologi. Pertarungan supremasi politik dan ekonomi global kini akan berfokus pada perubahan iklim.

Penelitian Bank of America Corp. mengatakan perubahan iklim akan menjadi tema terpenting dalam dekade ini, sama seperti teknologi yang menopang pertumbuhan ekonomi selama dekade terakhir.

Haim Israel, Kepala Penelitian Investasi Tematik Global Bank of America, mengatakan China telah menghabiskan dua kali lebih banyak dari Amerika Serikat untuk aksi iklim.

"Kami yakin strategi iklim menawarkan jalan menuju supremasi global. Baik melalui regulasi, batasan ekspor, tarif, atau investasi signifikan, kami yakin AS dan China akan melakukan apa pun untuk memimpin aksi iklim," katanya dilansir Bloomberg, Selasa (9/2/2021).

Dia melanjutkan, dampak ekonomi dari perubahan iklim dapat mencapai US$69 triliun abad ini, dan investasi dalam transisi energi perlu ditingkatkan menjadi US$4 triliun setahun. Itu akan menghasilkan lebih dari US$100 miliar setahun dalam penelitian dan pengembangan.

Bank of America memperkirakan bahwa kapitalisasi pasar potensial bagi perusahaan yang menangani iklim menjadi sekitar US$6 triliun di berbagai bidang seperti energi terbarukan, kendaraan listrik, dan sektor lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). China mendominasi dalam kendaraan listrik dan baterai, sementara Eropa unggul dalam energi terbarukan.

"Hasil bersihnya kemungkinan adalah lebih banyak uang yang mengejar perusahaan yang memimpin transisi iklim, sementara yang lambat dalam perubahan iklim dapat menghadapi kendala pembiayaan atau penilaian yang lebih rendah,” kata Israel.

Titik-titik tekanan dalam perang iklim termasuk dominasi rantai pasokan, kebijakan manufaktur yang berfokus pada domestik, undang-undang terkait hak asasi manusia dan tarif perdagangan terkait karbon. Ketergantungan energi asing yang berkurang dan fokus pada ekspor teknologi bisa menjadi kunci.

Kapasitas angin dan matahari China masing-masing akan meningkat tiga dan empat kali lipat pada 2030. Bandingkan dengan AS, di mana kapasitas angin ditargetkan menjadi dua kali lipat dan tenaga surya tiga kali lipat. Baterai kendaraan listrik siap untuk berkembang empat kali di China pada 2025 dibandingkan tiga kali di AS.

Perlombaan negara adidaya untuk teknologi bersih berarti minyak dan mobil mesin pembakaran internal akan mencapai puncaknya dekade ini.

"Ketegangan dapat meningkat melalui dominasi China dalam rantai pasokan tenaga surya dan produksi logam tanah yang langka, kebijakan yang berfokus pada domestik seperti 'Made in America,' dan dorongan Eropa untuk rantai pasokan baterai kendaraan listrik lokal," lanjutnya.

Laporan Israel menggarisbawahi pernyataan miliarder Jeremy Grantham, yang mengatakan pada November lalu bahwa energi hijau tidak hanya akan menjadi penting secara ekonomi dalam beberapa dekade mendatang, tetapi sangat penting secara geopolitik.

Grantham menyarankan AS memulai program pekerjaan umum besar yang mirip dengan Marshall Plan untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi dan ancaman yang disebabkan oleh pemanasan global.

Sejauh ini, China dan AS memimpin upaya ini dalam dekade terakhir, sementara Eropa tertinggal. Namun itu bisa berubah mengingat kepemimpinan Benua Biru dalam kebijakan iklim, dengan kawasan itu menjadi rumah bagi 70 persen aset reksa dana ESG, dan memiliki peraturan hijau yang maju. Delapan dari 10 perusahaan teknologi bersih global terbesar berbendera Eropa.

Mengingat puncak minyak dapat mencapai dekade ini karena penetrasi kendaraan listrik semakin cepat, Eropa akan menghasilkan 85 persen dari semua energinya dari sumber terbarukan, dibandingkan dengan sekitar 50 persen di China.

Dia melanjutkan, medan pertempuran berikutnya untuk supremasi geopolitik setelah iklim adalah luar angkasa, dengan pencitraan satelit dan kunci eksplorasi untuk pemantauan dan penelitian iklim.

Sementara itu, ruang angkasa selalu menjadi domain persaingan negara adidaya yang dipicu oleh Perang Dingin, fokus iklim, telekomunikasi, dan teknologi generasi keenam dapat mengintensifkan ini dan menandai fase berikutnya dari ketegangan AS-China dan seterusnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper