Bisnis.com, JAKARTA – Target peningkatan ekspor ke sejumlah mitra dagang utama yang menjadi penyumbang defisit seperti China dan Australia dipandang pelaku usaha akan sangat bergantung pada serapan di pasar tujuan dan tingkat daya saing produk Indonesia.
“Perlu diingat bahwa ketika pasar kontraksi, persaingan dagang di pasar akan jauh lebih tinggi dan mematikan bagi eksportir yang tidak punya market share besar atau skala produksi dan efisiensi yang tinggi” kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani saat dihubungi, Jumat (29/1/2021).
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, defisit neraca perdagangan terbesar disumbang oleh China dengan nilai US$9,42 miliar, Thailand US$1,91 miliar, dan Australia sebesar US$1,73 miliar.
Sepanjang 2020, ekspor nonmigas ke China dan Australia masih bisa tumbuh masing-masing 15,59 persen dan 14,52 persen. Kemendag pun menargetkan ekspor nonmigas ke kedua mitra dagang ini kembali tumbuh meski lebih rendah dibandingkan realisasi 2020, yakni sebesar 10,99 persen ke China dan 4,70 persen ke Australia.
Sejumlah produk yang dibidik bisa naik ke kedua pasar ini mencakup elektronik, perhiasan, produk kimia, otomotif, pulp dan kertas, dan alas kaki.
Shinta mengatakan keberhasilan peningkatan juga akan dipengaruhi oleh kemampuan produksi mengingat produk yang digenjot merupakan produk industri padat karya.
Baca Juga
Terlepas dari sejumlah tantangan ini, Shinta mengaku cukup optimistis target peningkatan ekspor bisa direalisasikan di pasar China mengingat perekonomiannya yang terbilang sudah pulih. Keyakinan konsumen pada kuartal IV di Negeri Panda pun dia sebut sudah membaik sehingga membuka ruang permintaan yang lebih besar pada 2021.
“Efek pent up demand yang terjadi di pasar China sepanjang lockdown atau penutupan perbatasan sehingga tingkat impor China pada 2021 diperkirakan memang akan lebih tinggi karena konsumsi masyarakatnya sendiri,” lanjutnya.
Sementara untuk pasar lain seperti Australia, Shinta tidak memungkiri bahwa target pertumbuhan bakal cukup sulit dicapai karena tingkat kepercayaan konsumennya cenderung masih rendah meski pandemi berhasil dikendalikan di negara tersebut.
“Ini akan memengaruhi berapa banyak produk sekunder dan tersier seperti garmen, sepatu, elektronik dan otomotif yang bisa diserap oleh pasar tersebut,” kata dia.
Dia pun mengemukakan bahwa diversifikasi ekspor Indonesia ke Australia masih terbatas sekalipun terdapat skema Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA).
“Ekspor baru akan perlu waktu setidaknya setahun untuk menjajaki dan mengeksplorasi pasar guna menciptakan volume perdagangan yang besar dan stabil,” ujarnya.