Bisnis.com, JAKARTA — Memasuki pergantian tahun, industri hulu minyak dan gas bumi masih menyisakan pekerjaan rumah yang harus dibenahi agar bisa lebih menarik di mata investor.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin mengatakan bahwa terkait dengan industri hulu migas di Indonesia pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan pemerintah adalah menggairahkan kembali iklim investasi.
Menurutnya insentif-insentif yang bersifat tidak komprehensif dan sementara tidak akan merubah kondisi saat ini secara nyata.
"Harus ada gebrakan yang signifikan dari pemerintah dan komitmen yang menciptakan kepastian karena bisnis migas ini bersifat jangka panjang dan mempunyai efek berganda yang sangat besar bagi Indonesia," katanya kepada Bisnis, baru-baru ini.
Moshe berharap agar kondisi industri hulu migas pada tahun ini bisa berjalan lebih baik dengan harga minyak yang stabil pada level di atas US$50 per barel atau bahkan bisa membaik ke level US$60 per barel pada kuartal III/2021.
Sinyal perbaikan tersebut dapat ditunjukan dengan adanya distribusi vaksin yang menyeluruh pada 2021 sehingga dapat mengembalikan pergerakan masyarakat dunia secara berangsur dan diikuiti konsumsi bahan bakar yang meningkat.
Baca Juga
Pada 2020, jatuhnya harga minyak dunia tidak dimulai oleh pandemi Covid-19, tetapi pertemuan OPEC+ pada 5 Maret 2020 yang tidak menemukan kesepakatan dengan negara-negara di luar OPEC seperti Rusia dan Meksiko menolak pemotongan produksi minyak yang diusulkan oleh Arab Saudi, terjadinya retaliasi oleh Arab Saudi yang justru meningkatkan produksi migasnya sehingga hal itu memicu harga minyak mulai jatuh.
Lebih lanjut, Moshe menuturkan bahwa pengumuman WHO tentang Covid-19 sebagai sebuah pandemi global baru dinyatakan pada 12 Maret, hal itu membuat kondisi yang sudah tidak bagus lebih parah dan berkepanjangan.
Pembatasan pergerakan masyarakat secara global membuat semua proyek tertunda walaupun beberapa kontraktor masih mempunyai anggaran untuk meneruskan proyek mereka.
Di sisi eksplorasi yang paling terkena dampaknya, semua kontraktor hanya bisa mempertahankan produksinya sambil menunggu pandemi berlalu yang masih berlanjut hingga tahun ini.
"Sebagai negara importir, tidak bisa berperan banyak dan kondisi industri migas dalam negeri pun sudah tidak bagus sebelum adanya pandemi ini," ungkapnya.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pada 2020, realisasi investasi hulu migas hanya mencapai US$10,21 miliar dari target sepanjang tahun sebesar US$12,10 miliar.
Sementara itu, SKK Migas menargetkan investasi hulu migas sebesar US$12,30 miliar pada tahun ini, target tersebut hanya terpaut tipis dibandingkan dengan target pada tahun lalu.