Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan harga pangan global dipandang menjadi sinyal positif perekonomian karena memperlihatkan adanya konsumsi yang membaik di tengah pandemi.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi berpandangan konsumsi yang naik bisa menjadi peluang bagi industri makanan dan minuman untuk melakukan ekspansi. Terkait potensi pasokan yang terganggu, dia menilai hal ini akan tergantung pada manajemen stok masing-masing perusahaan demi menghindari terjadinya kenaikan biaya produksi.
“Input produksi mungkin akan terpengaruh karena aktivitas panen di negara produsen telah berlalu. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana manajemen stok perusahaan menjelang masa panen selanjutnya,” kata Fithra, Kamis (12/11/2020).
Di sisi lain, gangguan pasokan pun dinilai tidak akan memicu permasalahan yang serius lantaran kemudahan bahan baku telah dijamin pemerintah. Salah satunya lewat penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2020 tentang Penataan dan Penyederhanaan Perizinan Impor.
Dalam perpres tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan penataan dan penyederhanaan perizinan impor atas produk/barang impor guna pemenuhan kebutuhan barang dan bahan pangan pokok, cadangan pangan pemerintah, bahan baku dan penolong untuk pencegahan atau penanganan bencana, dan kebutuhan lain yang ditetapkan oleh pemerintah.
“Kenaikan harga pangan ini perlu dilihat dari sisi positif bahwa ada peningkatan demand. Kenaikan harga sendiri seharusnya bisa dikompensasi dengan volume produksi yang lebih besar,” katanya.
Baca Juga
Dalam catatan Kementerian Perindustrian, permintaan komoditas pangan untuk industri makanan dan minuman tergolong tinggi. Sebagai contoh, permintaan gandum bisa mencapai 12,3 juta ton per tahunnya, sedangkan impor bahan baku berkisar di angka 7,9 juta ton per tahun.
Selain itu, kebutuhan susu untuk industri setiap tahun pun mencapai 4,07 juta ton di mana baru 20 persen yang dipenuhi dari produksi dalam negeri. Volume impor per tahunnya berkisar di angka 3,26 juta ton setara susu segar.