Bisnis.com, JAKARTA — Industri pengolahan garam dinilai masih prospektif untuk menarik investasi dari dalam dan luar negeri. Pasalnya, pertumbuhan industri pengguna garam nasional setidaknya tumbuh 5 persen per tahun.
Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) menyatakan bahwa garam menjadi bahan baku setidaknya untuk dua industri, yakni industri kimia dan makanan dan minuman (mamin).
Investasi di industri pengolahan garam dinilai prospektif lantaran pertumbuhan industri kimia mencapai 5 persen—8 persen per tahun dan industri mamin setidaknya tumbuh 5 persen per tahun.
"Untuk menjadikan dia [lebih] prospektif, pengadaan garam sebagai bahan baku diperlancar. Kalau lancar, industri yang menggunakan bahan baku akan tumbuh, dan investasinya akan tumbuh," kata Ketua Umum AIPGI Toni Tanduk kepada Bisnis, Rabu (11/11/2020).
Toni menilai pasokan bahan baku industri pengolah garam bisa berasal dari produk lokal maupun impor.
Menurutnya, kapasitas produksi petambak garam nasional masih belum memenuhi permintaan industri pengolahan karena terhambat oleh masalah lahan dan cuaca.
Baca Juga
Berdasarkan neraca garam 2020, volume garam impor berkontribusi hingga 50,29 persen dari ketersediaan garam baru tahun ini.
Adapun, kebutuhan garam nasional tahun ini mencapai 4,46 juta ton dengan kebutuhan industri mencapai 83,86 persen atau 3,74 juta ton.
Toni mengatakan bahwa tingginya impor garam pada tahun ini karena garam lokal belum dapat memenuhi persyaratan sektor manufaktur. Setidaknya ada dua hal yang dapat mendorong kualitas garam lokal dalam waktu dekat dengan menggunakan teknologi.
Pertama, meningkatkan kualitas kebersihan garam. Toni menyampaikan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sedang berkolaborasi untuk meningkatkan kebersihan garam lokal. "Namun, garam itu bahan baku. Artinya, selain kualitas, harganya harus kompetitif. Jadi, variabel itu [tidak boleh dilupakan]."
Kedua, penggunaan teknologi dalam proses pengeringan. Toni mengatakan bahwa lama musim kemarau di dalam negeri jauh lebih singkat dibandingkan dengan Australia. Oleh karena itu, proses pengeringan yang biasanya menggunakan cara tradisional bisa dipacu dengan penggunaan teknologi.
Walakin, Toni mengkhawatirkan harga garam dari teknologi tersebut. Pasalnya, cara tradisional yang selama ini digunakan tidak mengeluarkan biaya sama sekali karena menggunakan cahaya dan angin alami.
"Proses pembuatan garam ini sangat lahap energi. Kalau kita bicara teknologi, bicara energi, berarti bicara biaya," ucapnya.
Hingga akhir 2020, garam dari petambak domestik diramalkan akan mencapai 2,89 juta ton. Adapun, stok garam lokal dari tahun lalu mencapai 2,11 juta ton.