Bisnis.com, JAKARTA – Penugasan untuk menyerap minyak mentah atau crude dari Banyu Urip kepada PT Pertamina (Persero) dinilai bisa memberatkan kinerja di tengah kondisi industri migas saat ini.
Direktur Executive Energi Watch Mamit Setiawan berpendapat pada masa pandemi Covid-19, permintaan bahan bakar minyak (BBM) melemah sangat dalam sehingga hal itu membuat Pertamina mengurangi kapasitas produksi kilangnya.
Di sisi lain, pasokan yang masih melimpah membuat penyimpanan yang dimiliki Pertamina masih penuh. Dengan demikian, penyerapan minyak dari Banyu Urip akan menambah tempat penyimpanan lain.
"Memang ini akan cukup memberatkan bagi Pertamina apalagi Pertamina harus menyewa tanker untuk menampung terlebih dahulu sehingga ada biaya lebih," katanya kepada Bisnis, Minggu (9/11/2020).
Namun, Mamit menilai keputusan untuk menugaskan Pertamina dalam menyerap minyak dari Banyu Urip merupakan keputusan yang paling baik dibandingkan dengan opsi ekspor yang dijual di bawah harga minyak mentah Indonesia (ICP).
Pasalnya, apabila minyak mentah tersebut diekspor dengan harga dibawah ICP, maka negara harus menanggung kerugian yang tidak sedikit.
"Tapi setidaknya mereka [Pertamina] kembali menjadi penyelemat agar Banyu Urip tetap berproduksi dan pemerintah tidak kehilangan lifting dan juga pemasukan," ungkapnya.
Sebelumnya, Corporate Secretary Sub holding Refining & Petrochemical Ifki Sukarya mengatakan bahwa pihaknya mendapatkan penugasan untuk menyerap minyak mentah dari Lapangan Banyu Urip.
Di sisi lain, berdasarkan paparan Pertamina, selama pandemi Covid-19, kilang Pertamina dioperasikan pada kapasitas minimum (turn down ratio) 75 persen.
"Pertamina mendapatkan penugasan dari SKK Migas untuk mengelola minyak mentah milik negara. Bahwa saat ini diserap bukan hanya untuk mencegah curtailment [pembatasan produksi] tapi bagian tugas yang sudah berjalan sejak lama," ujarnya.