Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani Undang-Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) dan memulai babak baru bagi UU yang sejak awal pembahasannya menuai banyak polemik.
Namun, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo punya penilaian tersendiri tentang penerbitan UU Ciptaker. Dia menyandingkan UU Ciptaker dengan UU No.11/2016 Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).
"Akhirnya UU Cipta Kerja ditandatangani Presiden menjadi UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Saya jadi ingat UU No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak," cuit Prastowo dalam @prastow, Selasa (3/11/2020).
Dalam catatan Bisnis, meski penolakannya tak sebanyak UU Ciptaker, pelaksanaan tax amnesty awalnya juga menuai kecaman. Para pengamat pajak hingga aliansi masyarakat sipil menganggap program pengampunan pajak mencederai keadilan.
Pasalnya, ada kecurigaan waktu itu, UU pengampunan pajak hanya dijadikan dalih pemerintah untuk memberikan "pengampunan dosa" atau karpet merah kepada para konglomerat pengemplang pajak.
Presiden Joko Widodo pernah mengungkap bahwa harta milik wajib pajak atau warga negara Indonesia (WNI) yang disimpan di luar negeri mencapai Rp11.000 triliun atau empat kali lipat belanja APBN.
Baca Juga
Sayangnya, realisasi pengampunan pajak yang digadang-gadang paling berhasil dibanding negara, ternyata belum cukup efektif menarik minat para konglomerat untuk merepatriasi atau mendeklarasikan hartanya.
Sebagai perbandingan, data deklarasi harta senilai Rp4.884,2 triliun. Namun harta atau aset yang dideklarasikan dari luar negeri hanya Rp1.036,7 triliun. Selain itu, otoritas pajak juga mencatat repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak senilai Rp114,5 triliun. Angka ini jauh dari angka yang dilontarkan Presiden Jokowi di atas.
Selang tiga tahun setelah pelaksanaan tax amnesty berlangsung, pemerintah kembali menerbitkan UU kontroversial yang disusun dengan skema omnibus law. Judul UU tersebut adalah cipta kerja atau ciptaker. UU ini merelaksasi banyak ketentuan yang menghambat investasi.
Salah satu tujuannya memang untuk penciptaan lapangan kerja. Meski di dalam prosesnya UU ini dianggap menabrak prinsip-prinsip reformasi dan desentralisasi. Selain itu ada anggapan juga jika UU tersebut cacat formil maupun materil.
Prastowo sendiri dalam cuitan tersebut masih optimis dan berharap implementasinya bisa berlangsung efektif. "Semoga segala niat dan tujuan baik dapat diimplementasikan dengan baik, demi kebaikan publik. Selamat berdiskursus!," tukas Prastowo.