Cari berita
Bisnis.com

Konten Premium

Bisnis Plus bisnismuda Koran Bisnis Indonesia tokotbisnis Epaper Bisnis Indonesia Konten Interaktif Bisnis Indonesia Group Bisnis Grafik bisnis tv

Bank Tanah di Omnibus Law, Pengamat: Hati-Hati Dikeruk Keuntungan Oligarki

Berdasarkan Undang-Undang (UU) 11/2020 tentang Cipta Kerja yang baru saja disahkan, Bank Tanah berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan,pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.
Jaffry Prabu Prakoso
Jaffry Prabu Prakoso - Bisnis.com 03 November 2020  |  18:51 WIB
Bank Tanah di Omnibus Law, Pengamat: Hati-Hati Dikeruk Keuntungan Oligarki
Presiden Joko Widodo bertolak menuju Provinsi Sumatera Utara dalam rangka kunjungan kerja pada Selasa (27/10/2020). Presiden akan meninjau proses pembangunan kawasan lumbung pangan (food estate) dan menyerahkan sertifikat hak atas tanah di Sumatera Utara. - Biro Pers Sekretariat Presiden

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah melalui Omnibus Law Cipta Kerja membentuk Bank Tanah. Berdasarkan Undang-Undang (UU) 11/2020 tentang Cipta Kerja yang baru saja disahkan, badan tersebut berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan meski tujuan bank tanah untuk memudahkan berbagai macam pembangunan, badan tersebut perlu dikawal.

“Karena kita khawatir pendirian bank tanah ini jadi jalan pintas sebagian pengusaha swasta atau oligarki untuk bisa mendapatkan tanah secara murah, bahkan gratis,” katanya.

Abra menjelaskan alasannya apabila ada proyek yang dianggap strategis oleh pemerintah yang dikerjakan swasta, pemanfaatan lahan tersebut difasilitasi negara. Tanah tersebut bisa dialihkan pengelolaannya ke swasta.

Hal yang menjadi catatan adalah dalam pembebasan tanah tersebut pasti membutuhkan biaya yang cukup besar. Namun, pengalihan ke swasta dikenakan biaya serendah mungkin.

“Artinya pemerintah yang menanggung biaya itu untuk kepentingan korporasi. Walaupun tanah itu milik negara, tapi dalam pengeloanya bisa dialihkan ke swasta,” jelasnya.

Di sisi lain, Abra menuturkan bahwa pada pasal 127 UU Cipta Kerja berbunyi bank tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat transparan, akuntabel, dan nonprofit. Kata terakhir nonprofit itu menurutnya bisa menjadi masalah.

“Itu bisa diasumsikan perlu bank tanah dapat untung besar dan swasta saja yang mendapatkannya. Karena memang diamanatkan bank tanah tidak mencari profit,” ucapnya.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil mengatakan bahwa bank tanah berbeda dengan lembaganya. Di berbagai negara, badan pertanahan seperti BPN punya dua tangan, yaitu regulator dan pengelolanya.

Di Indonesia, yang ada hanya pelaksana regulasi, sedangkan dari sisi pengaturan tanahnya tidak ada. Ini berbeda dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dimana institusi tersebut memiliki keduanya.

Contoh yang sangat terasa tambah Sofyan adalah kantor BPN berasal dari tanah sumbangan pemerintah daerah. Hal ini merupakan dampak lembaganya tidak memiliki hak pengelola.

“Kalau tidak disumbang, BPN tidak punya kantor. Betapa miskinnya BPN. Ini karena desainnya keliru. Tapi ini cerita lama. Makanya kita ceritakan konsep baru,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :

bank tanah Omnibus Law cipta kerja
Editor : Hafiyyan

Artikel Terkait



Berita Lainnya

    Berita Terkini

    back to top To top