Bisnis.com, JAKARTA - Rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang dikabarkan mendekati angka 17 persen mendapat tentangan keras dari sejumlah kelompok petani tembakau.
Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji berharap semoga saja kabar tersebut tidak benar. Namun, jika kabar tersebut benar ini merupakan penyiksaan terhadap kehidupan ekonomi rakyat pertembakauan.
"Hasil kami merugi jangankan untuk melanjutkan pertanian lagi, untuk hidup saja susah. Itu disebabkan salah satunya dari faktor cukai tahun ini yang sudah naik 23 persen," cetus Agus dalam keterangan resminya, Kamis (22/10/2020).
Agus mengatakan, jika tahun depan diputuskan naik lagi tanpa pertimbangan bahwa dalam industri hasil tembakau (IHT) ada komponen tembakau yang selalu terdampak, maka sama saja pemerintah melakukan kedzaliman.
Pasalnya, pemerintah berpikir sepihak. Sementara, petani tembakau aspirasinya diabaikan. "Kalau industri penyerapannya melemah, apakah pemerintah mau membeli hasil tembakau kami?," tanya Agus.
Sementara itu, Juru Bicara Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto menyebut AMTI menolak dengan tegas kenaikan cukai yang eksesif, mengingat industri hasil tembakau (IHT) merupakan sumber utama penerimaan cukai negara dan merupakan industri padat karya yang melibatkan jutaan orang dari hulu hingga hilir.
Baca Juga
Berdasarkan proyeksi Kementerian Keuangan, penurunan volume IHT secara industri diperkirakan mencapai 15-16 persen atau setara lebih dari 50 miliar batang hingga akhir 2020.
Penurunan volume tersebut berdampak besar bagi kelangsungan hidup para petani tembakau karena berimbas pada berkurangnya serapan tembakau sebesar 50.000 ton tembakau pada 50.000 hektar lahan tembakau.
Menurutnya kurang bijaksana jika upaya memaksimalkan penerimaan negara hanya dibebankan kepada industri hasil tembakau. \"Untuk itu pemerintah perlu menjelaskan secara transparan dan rasional alasan untuk menaikkan tarif cukai yang tinggi di saat kinerja IHT anjlok hingga dua digit,\" tegasnya.
Hananto berharap Presiden Joko Widodo beserta jajarannya, terutama Kementerian Keuangan, untuk memberikan perlindungan terhadap Sigaret Kretek Tangan demi kelangsungan hidup pekerja linting dan juga petani tembakau dan cengkih.
Caranya, kata dia, yaitu dengan tidak menaikkan tarif cukai untuk segmen SKT. Patut diingat bahwa jumlah tembakau dan cengkih yang terkandung dalam SKT lebih banyak ketimbang rokok mesin. "Kenaikan tarif cukai yang tinggi akan menyebabkan volume industri semakin anjlok yang berakibat pada berkurangnya serapan daun tembakau dan cengkih sehingga dapat memicu kemiskinan di daerah sentra industri tembakau," tukasnya.