Bisnis.com, JAKARTA - Berhentinya sejumlah penerbangan internasional selama pandemi Covid-19 membuat pengusaha kargo udara kelimpungan.
Pasalnya, sejumlah penerbangan penumpang yang dimanfaatkan membawa kargo berhenti beroperasi sehingga aktivitas kargo ekspor impor hanya mengandalkan pesawat freighter.
Managing Director PT Transtama Logistics Ade Wellington Adrian mengungkapkan sebenarnya kinerja ekspor dan impor Indonesia dari sisi permintaan relatif tetap berjalan karena permintaan pengiriman jalur udara fokus pada barang penting, bernilai tinggi serta barang-barang segar (perishable).
"Untuk kinerja ekspor dan impor Indonesia tentunya terdampak sekali penurunannya, tetapi jalur kargo udara relatif lebih baik mengingat kargo udara adalah bersifat barang urgent atau mempunyai nilai yang tinggi atau durable yang terbatas seperti komoditi perishable, sehingga mau tidak mau ekspor impor melalui jalur udara masih berjalan," jelasnya kepada Bisnis, Rabu (7/10/2020).
Namun, dari sisi suplai atau ruang kargo udara, ini menjadi persoalan. Menurutnya, masih banyak maskapai internasional yang belum kembali terbang dari dan ke Indonesia atau memilih untuk offline.
"Kondisi supply demand ini mengakibatkan terjadinya kekurangan pada suplai ruang kargo udara sehingga menyebabkan over demand terhadap ruang kargo udara dan otomatis menyebabkan harga kargo udara meningkat tajam, bahkan di awal pendemi April hingga Juli harga bisa melonjak sampai 100 persen," paparnya.
Baca Juga
Dalam dua bulan terakhir, terangnya, satu persatu satu maskapai sudah mulai kembali terbang dan atau menambah frekuensi penerbangannya. Meski demikian, operasinya masih belum seperti kondisi normal di awal 2020.
Pria yang juga Ketua Indonesia Cargo Agents Club (ICAC) tersebut menuturkan dengan kembali masuknya maskapai seperti Garuda, Korean Airlines dan Ethiopian Airlines yang menggunakan pesawat penumpang diubah menjadi tanpa kursi atau bagian kabin penumpang dipakai mengangkut kargo hal ini sangat membantu kebutuhan ruang kargo udara.
Dengan begitu, harga sudah mulai kembali mendekati normal, tetapi tetap masih lebih mahal 30-40 persen dibandingkan dengan harga awal 2020. Artinya, sisi suplai alias ruang kargo udara masih kekurangan, walaupun sudah kembali menuju normal.
Ade menegaskan tantangannya ke depan, flag carrier seperti Garuda harus lebih pandai menangkap situasi ini dengan memiliki pesawat freighter sendiri dan semakin banyak pesawat penumpang yang diubah menjadi seatless.
Dengan demikian, dapat menampung dan menangkap peluang kondisi cargo saat ini, terlebih pada Oktober 2020 sampai dengan akhir 2020 akan memasuki masa peak season kargo internasional.
"Kami masih kekurangan, tapi sudah mendekati normal dan terlebih Oktober memasuki peak season untuk kargo ekspor impor. Sehingga yang tadinya mendekati normal kembali ke kekurangan ruang secara moderat lagi," katanya.
Selain itu, dia menekankan bahwa para maskapai memang perlu segera bergeser fokus pada mengurusi angkutan barang. Pasalnya, strategi memprioritaskan kargo udara sebagai tulang punggung maskapai disebutnya terbukti ampuh.
Dia mencontohkan Korean Airlines adalah salah cerita sukses, pada saat maskapai berdarah-darah karena masih terus menggarap sektor penumpang, Korean Airlines dengan cerdas memfokuskan ke bisnis kargo dengan mengoperasikan banyak freighter dan pesawat penumpang kargonya.
Alhasil Korean Airlines membukukan keuntungan pada kondisi pandemi ini.