Bisnis.com, JAKARTA - Industri penyamakan kulit menyusut sekitar 8 persen selama 10 tahun terakhir. Adapun, regulasi dan hubungan hulu-hilir industri kulit dinilai menjadi penyebabnya.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendata jumlah pabrikan menyusut 45,83 persen dari 312 unit pada 2008 menjadi 169 unit pada 2018. Sementara itu, jumlah tenaga kerja terkoreksi 8,21 persen menjadi 5.645 orang.
"Kebutuhan kulit [jadi] cukup besar, tapi [industri] penggunanya di dalam negeri tidak menyerap. Sementara itu, industri penyamakan kulit sudah eksis [di pasar] ekspor," kata Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh kepada Bisnis, Rabu (23/9/2020).
Elis mencatat pasar dalam negeri menyerap 60 persen dari total produksi industri penyamakan kulit nasional. Namun demikian, perbedaan harga jual membuat tidak semua produksi diserap di pasar lokal.
Alhasil, neraca dagang kulit jadi nasional selalu defisit setidaknya sejak 2017. Pada Januari-Juli 2020 defisit neraca dagang kulit mencapai US$166,9 juta atau membaik sekitar 26,19 persen dari periode yang sama tahun lalu di posisi US$226,1 juta.
Di samping itu, laju pertumbuhan industri kulit minus 0,99 persen pada 2019 Adapun, pada kuartal I/2020 angka tersebut membaik ke level 0,36 persen.
Baca Juga
Elis mencatat setidaknya ada tiga hal yang membuat industri penyamakan kulit menyusut selama 10 tahun terakhir.
Pertama, ketersediaan kulit mentah yang minim di dalam negeri.
Berdasarkan data Kemenperin, industri penyamakan kulit nasional dapat memproduksi 23,5 juta lembar atau 250.000 square feet (sqft) kulit jadi. Namun demikian, ketersediaan kulit mentah lokal hanya 4,8 juta lembar.
Dengan kata lain, ada defisit bahan baku lebih dari 18 juta lembar kulit mentah. Secara rinci, industri kulit berukuran besar masih defisit bahan baku sekitar 2,3 juta lembar, sedangkan industri kulit berukuran kecil mencapai 16,3 juta lembar.
"Jumlah kulit di dalam negeri kurang, lalu dibatasi impor dari negara yang memiliki penyakit mulut dan kuku," katanya.
Elis menyatakan harga kulit mentah dari negara yang terbebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK) cukup tinggi. Alhasil, kulit jadi besutan pabrikan lokal tidak kompetitif dibandingkan dengan kulit jadi impor.
Kedua, belum terhubungnya industri pengguna dan industri penyamakan kulit nasional. Elis menyatakan pihaknya seharusnya akan mengadakan sebuah ajang yang akan mempertemukan pabrikan penyamakan kulit dan industriawan pengguna.
Walakin, pandemi Covid-19 membuat ajang tersebut dipindahkan secara virtual. Elis berujar pihaknya akan kembali menggelar ajang tersebut secara luring pada 2021 agar pengawinan antara pabrikan hulu dan hilir industri kulit lebih efektif.
Ketiga, meningkatnya aturan tingkat kandungan chrome dalam air. Elis menilai beleid tersebut termasuk menjadi faktor yang menahan pertumbuhan produksi industri kulit lokal.
"Itu yang menyebabkan industri penyamakan kulit selalu terkendala dengan isu lingkungan karena adanya pengetatan [kada] chrome tersebut," ucapnya.