Bisnis.com, JAKARTA - Menaikkan kelas Standar Nasional Indonesia (SNI) produk baja hilir menjadi wajib telah menjadi masalah yang menahun. Pada tahun ini, komponen yang menahan peningkatan pangsa pasar pabrikan baja lokal tersebut tampaknya masih belum akan usai.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan pembahasan SNI wajib produk baja hilir yakni baja lapis (Bjlas) warna dan profil baja ringan masih berkutat seputar pemilihan standar yang tepat agar industri kecil dan menengah (IKM) hilir baja juga dapat mengikuti standar tersebut. Alhasil, SNI wajib baja hilir diperkirakan tidak dapat terbit tahun ini.
"Mewajibkan sesuatu [SNI] itu ada IKM [yang harus dipertimbangkan]. Kalau IKM bisa dikasih minimum yang dia bisa berbuat, itu akan kami eksekusi. Prosesnya [masih] panjang. Kalau SNI Sukarela bisa 6 bulan selesai," ucap Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin Taufiek Bawazier, Senin (14/9/2020).
Adapun, Taufiek akan mengusahakan agar pemeriksaan logo SNI wajib produk baja hilir impor akan dilakukan di negara asal impor. Dengan kata lain, proses tata niaga yang diusahakan Kemenperin adalah pre-checking product.
Sebelumnya, Ketua Umum Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim mengatakan pihaknya berkomitmen untuk aktif berkontribusi dan bersinergi dengan Kemenperin dalam rangka menyukseskan program substitusi impor di sektor industri besi dan baja.
Menurut Silmy, salah satu wujud implementasinya, IISIA dan Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menandatangani kerja sama mengenai pemanfaatan data SNI Produk Baja pada aplikasi BSN untuk dapat digunakan dalam website IISIA dan terkait pengembangan SNI Produk Baja.
Baca Juga
“Kerja sama antara asosiasi dan pemerintah telah dilakukan dalam pengembangan dan penerapan SNI khususnya dalam melindungi keselamatan pemakai produk baja, menciptakan kondisi bisnis yang adil bagi pelaku industri, melindungi industri nasional dari impor produk baja, serta mendukung daya saing industri baja nasional baik untuk memenuhi pasar domestik maupun internasional,” katanya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesia Zinc Aluminium Steel Industry (IZASI) Maharani Putri menilai terhambatnya penerbitan SNI wajib produk hilir industri baja karena membahas keterlibatan IKM hilir baja tidak logis.
Pasalnya, menurut Maharani, industri baja lapis merupakan industri padat modal, sedangkan industri kecil dan menengah (IKM) umumnya merupakan industri padat karya. Selain itu, Maharani menyatakan perubahan jenis SNI tersebut juga diperlukan untuk melindungi konsumen.
Seperti diketahui, SNI baja lapis menyatakan bahwa ketebalan baja dasar yang beredar di dalam negeri dianjurkan untuk lebih dari 0,2 milimeter. Namun demikian, Maharani menemukan bahwa mayoritas baja lapis impor memiliki ketebalan 0,2 milimeter, sedangkan ketebalan baja dasarnya hanya 0,17 milimeter.
Menurutnya, SNI baja lapis wajib juga dapat menghilangkan praktik pelarian pos tarif yang selama ini diduga dilakuan. Maharani berujar pelarian pos tarif tersebut terlihat dari melonjaknya impor baja lapis campuran dan menurunnya baja lapis alloy.
Per 2019, 53 persen dari total baja lapis impor berasal dari China, sedangkan 31 persen berasal dari Vietnam. Dengan kata lain, baja lapis dari Negeri Panda berpotensi mendominasi pasar domestik sekitar 29-31 persen dengan bea masuk senilai Rp0.
Oleh karena itu, Maharani meminta agar pemerintah mempercepat perubahan SNI baja lapis dari sukarela menjadi wajib. Menurutnya, hanya non-tariff measure (NTM) yang dapat melindungi pabrikan dari negara asal importir.