Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah mengirim sinyal kuat untuk segera mengkaji ulang dan mereformasi sistem perpajakan guna mendorong skema pemajakan yang lebih berkeadilan.
Sinyal itu tampak dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat membacakan pernyataan pemerintah terkait Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan & Belanja Negara (RAPBN) 2022.
"Berbagai kajian dan evaluasi terus dilakukan," kata Sri Mulyani yang dikutip Bisnis, Rabu (2/9/2020).
Sri Mulyani menambahkan aspek pemajakan yang tengah dikaji pemerintah di antaranya subyek, obyek dan tarif pajak, pengecualian (exemption), mekanisme pengenaan pajak final, serta insentif yang telah diterbitkan.
Dalam catatan Bisnis, substansi mengenai subyek dan obyek termasuk tarif pajak telah masuk dalam rencana revisi UU PPh. Jika merujuk ke draf awal RUU PPh, sebagaimana yang diperoleh dan pernah diberitakan Bisnis, jumlah obyek pajak penghasilan yang nantinya akan dipungut membengkak dari 19 menjadi 25 objek PPh.
Beberapa tambahan objek pajak yang rencananya dimasukan dalam revisi UU PPh itu mencakup harta warisan, harta hibah, laba ditahan yang tidak dibagikan dalam bentuk dividen dan tidak dinvestasikan ke dalam sektor riil dalam waktu dua tahun (klausul ini dikabarkan dicoret), hingga pembayaran premi asuransi kesehatan dan iuran jaminan kesehatan.
Baca Juga
Substansi terkait dengan perluasan obyek pajak itu sejalan dengan penjelasan revisi UU PPh dalam rencana strategis Kementerian Keuangan yakni untuk meningkatkan sumber penerimaan negara yang lebih sustainable melalui perluasan tax base dan peningkatan kepatuhan pajak, serta pemajakan atas transaksi di lintas yurisdiksi.
Sementara, terkait exemption, substansi itu akan dimasukan dalam revisi UU PPN. Salah satu poin kenapa exemption perlu dirapikan adalah penguatan basis pajak guna mendorong peningkatan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sri Mulyani sendiri mengungkapan proses review tersebut dilakuka untuk memperoleh kebijakan perpajakan yang optimal, memberikan rasa keadilan, mengikuti perkembangan terkini, mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi.
"Pada saat yang bersamaan dapat memperluas basis perpajakan," katanya.
Adapun, review mekanisme PPh final saat ini tengah diarahkan ke perlakukan PPh final bagi sektor kontruksi & real estat (PPh final). Review ini perlu dilakukan karena dalam kondisi normal, pengenaan skema final pada sektor konstruksi dianggap tidak ideal. Apalagi, share sektor ini ke produk domestik bruto (PDB) cukup besar.
Dalam catatan Bisnis, jika digabungkan kontribusi sektor konstruksi dan real estat selama tahun 2019 tercatat sebesar 13,25 persen atau terbesar kedua setelah industri pengolahan yang mencapai 19,70 persen. Sektor ini sedikit di atas sektor perdagangan yang kontribusinya tercatat sebesar 13 persen dari PDB.
Kendati demikian, dengan share ke PDB - nya yang besar, kontribusi sektor kontruksi dan real estat ke penerimaan pajak masih sangat minim. Sebagai contoh, pada tahun 2019 lalu misalnya, penerimaan pajak dari sektor ini hanya Rp89,6 triliun atau 7,2 persen dari total penerimaan pajak senilai Rp1.332 triliun.
Dilihat dari kontribusinya sektor ini jelas kalah jauh dibandingkan dengan sektor perdagangan yang mampu menyumbang Rp246,85 triliun atau hampir 20 persen dari penerimaan pajak 2019.