Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data neraca perdagangan Indonesia bulan Juli 2020 esok hari, Selasa (18/8/2020).
Sejumlah ekonom memperkirakan tren neraca perdagangan Juli 2020 masih positif, meskipun tidak setinggi bulan sebelumnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan neraca perdagangan Juli 2020 akan membukukan surplus US$1,24 miliar, lebih rendah dari Juni 2020 tercatat surplus US$1,27 miliar.
"Diperkirakan secara bulanan ekspor akan mengalami pertumbuhan sebesar 6,7 persen secara bulanan (month-to-month/mtm), sementara impor akan bertumbuh 7,5 persen mtm," katanya kepada Bisnis, Kamis (13/8/2020).
Hal ini tercermin dari PMI Manufaktur di negara-negara tersebut yang mencapai level di atas 50, misalnya PMI Manufaktur kawasan Eropa yang mencapai 51,8, AS 50,9, dan China 51,8.
Di sisi lain, mayoritas harga komoditas juga mengalami peningkatan, seperti CPO dan karet, yang mengalami kenaikan masing-masing sebesar 12,75 persen mtm dan 12,63 persen mtm. Sementara harga batu bara masih mengalami penurunan sebesar 0,38 persen.
Baca Juga
"Pada Juli 2020, diperkirakan pertumbuhan impor juga akan mengalami peningkatan seiring dengan pemulihan sektor manufaktur Indonesia dan kenaikan harga minyak dunia," katanya.
Sebelumnya, BPS mencatat, neraca perdagangan pada Juni lalu surplus sebesar US$1,27 miliar,
Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai US$2,09 miliar, tetapi masih lebih baik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar US$210 juta.
Pengenduran lockdown, termasuk pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Indonesia, diyakini membawa angin segar pada aktivitas manufaktur dan perdagangan pada Juli 2020.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana memproyeksi neraca dagang Indonesia pada Juli 2020 akan surplus US$544 juta. Nilai ini lebih rendah dari Juni lalu yang tercatat surplus US$1,27 miliar.
Menurutnya, impor dan ekspor masih akan mengalami tekanan yang dalam pada periode tersebut. Ekspor diperkirakan masih akan terkontraksi -17,16 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), sementara ekspor diperkirakan terkontraksi -21,02 persen.
Wisnu menjelaskan, pendorong surplus pada Juli 2020 didorong oleh komoditas seperti emas dan produk holtikultura yang tetap berpotensi membukukan kinerja positif.
"Sementara prospek ekspor 2 bulan ke depan diharapkan akan membaik seiring dengan kenaikan signifikan pada harga CPO," tuturnya.
Di sisi lain, Ekonom Senior Institute For Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati pesimistis neraca perdagangan bulan Juli 2020 akan susplus karena permintaan impor yang sudah mulai menunjukkan pemulihan sementara ekspor masih mengalami tekanan.
Di samping itu, banyak negara yang mengalami resesi bahkan mencatatkan penurunan ekonomi dua digit. Hal ini menunjukkan permintaan masih sangat terbatas sehingga harga komoditas juga masih mengalami tekanan.
"Juli 2020 dari sisi ekspor dibandingkan Juni 2020 menurun, tapi di sisi impor tidak ada tekanan," katanya kepada Bisnis, Kamis (13/8/2020).
Enny mengatakan angka PMI manufaktur Indonesia yang meningkat pada Juli 2020 menunjukkan adanya geliat industri dari sisi permintaan impor.
Dia menjelaskan, eskpor pada Juli mengalami penurunan karena harga logam mulia sudah mulai turun di pasar internasional. Di sisi lain, impor untuk beberapa kegiatan industri mengalami kenaikan karena industri di Indonesia bergantung pada bahan baku impor.
"Saya khawatir ekspor relatif stagnan karena rendahnya permintaan dunia tapi sudah mulai ada geliat impor lagi, prediksi saya tidak surplus lagi, kalaupun surplus lebih kecil dari Juli 2020," katanya.