Bisnis.com, JAKARTA — September 2020 menjadi masa yang penting bagi industri alas kaki dalam menentukan kelangsungan investasinya di dalam negeri. Di sisi lain, pabrikan meminta beberapa perubahan aturan disesuaikan dengan kondisi pandemi.
Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menyatakan bahwa utilisasi pabrikan saat ini masih berada di level 32 persen. Dengan kata lain, utilisasi industri alas kaki nasional telah berada di bawah level 50 persen setidaknya selama 3 bulan.
Adapun, September 2020 dipilih lantaran permintaan alas kaki pada akhir tahun akan diproduksi pada bulan tersebut. Dengan kata lain, volume permintaan alas kaki di akhir tahun akan menentukan keberlangsungan beberapa investasi industri alas kaki di dalam negeri.
"Ketika pertumbuhan terkontraksi, pasti akan ada penyesuaian kapasitas terpasang dengan pasarnya. Itu akan terjadi. [Pasalnya,] pasarnya saat ini masih fragile, masih volatil," ujar Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakrie kepada Bisnis, Senin (17/8/2020).
Firman memprediksi ketidakpastian pasar alas kaki di dalam dan luar negeri akan berlanjut pada 2021. Hal yang sama juga diutarakan Presiden Joko Widodo saat pidato Nota Keuangan 2021, pekan lalu.
Oleh karena itu, Firman menyarankan agar pemerintah membagi data proyeksi perekonomian 2021 dengan sektor manufaktur. "Keterbukaan data analisis itu penting supaya pemerintah dan industri bisa menyiapkan [strategi] ke depan."
Baca Juga
Di sisi lain, Firman menilai diperlukan ada perubahan aturan agar pabrikan bisa bertahan hingga akhir tahun. Oleh karena itu, Asprisindo setidaknya meminta agar pemerintah setidaknya menyesuaikan dua aturan terkait manufaktur.
Pertama, melonggarkan aturan izin produksi dan standardisasi bagi industri kecil dan menengah (IKM). Firman menilai hal tersebut penting lantaran sebagian pabrikan melakukan diversifikasi produksi untuk bertahan.
Menurutnya, pelaku industri kecil menengah (IKM) alas kaki saat ini juga memproduksi masker kain selagi belum adanya permintaan alas kaki. Namun, mayoritas IKM hanya memiliki izin produksi alas kaki.
Pelonggaran standardisasi diperlukan mengingat telah ada beberapa IKM alas kaki yang dikenai sanksi pidana karena memproduksi masker kain di bawah standar. Oleh karena itu, ujar Firman, pemerintah juga perlu menyesuaikan pengawasan dengan situasi krisis saat ini.
"Sense of crisis di penegak hukum harus dibangun. Jadi, pada masa-masa seperti ini perlu fleksibilitas tingkat tinggi. Ini kondisinya beda dengan kondisi normal," ucapnya.
Kedua, penyesuaian Peraturan Pemerintah No. 78/2015 tentang Pengupahan. PP tersebut diketahui mengubah penghitungan kenaikan upah pekerja setiap tahunnya dari penentuan tiap-tiap pemerintah daerah menjadi satu rumus yakni presentasi inflasi ditambah persentase pertumbuhan ekonomi.
Firman menilai penetapan PP tersebut memberi industriawan kepastian usaha dalam kondisi normal. Namun, saat ini PP tersebut dinilai akan memberatkan pabrikan.
Pasalnya, upah minimum pabrikan alas kaki akan kembali dihitung pada akhir kuartal III/2020. Dengan kata lain, perhitungan pertumbuhan ekonomi dan inflasi akan mulai dihitung sejak September 2019.