Dalam pembukaan UUD 1945, raison d’etre dari kemerdekaan Indonesia dijabarkan dengan jelas sebagai sebuah hak dari suatu bangsa yang berlandaskan kepada nilai-nilai kemanusian dan keadilan.
Justifikasi dari keberadaan bangsa dan negara ini sejatinya bersifat universal, dimana penghapusan terhadap ‘penjajahan’ tidak hanya bermakna sebagai sebuah bentuk peperangan secara fisik saja melainkan juga sebuah usaha berkelanjutan dalam pengusiran terhadap berbagai bentuk penjahan lain.
Salah satu bentuk penjajahan yang nyata dan bertolak belakang dengan tegaknya nilai-nilai kemanusian dan keadilan tersebut adalah ‘penjajahan’ dalam aspek sosial-ekonomi, sebuah aspek yang sudah lama menjadi hakikat dari keberadaan ekonomi syariah di Indonesia.
Nilai syariah dalam ekonomi tersebut menggambarkan semangat keislaman di Indonesia dimana nilai kebermanfaatannya sangat ditonjolkan tanpa adanya sekat-sekat keislaman yang bersifat ekslusif dan menegasikan kemerdekaan individu.
Realisasi pertama dari nilai-nilai ekonomi syariah adalah membuka seluas-luasnya akses sumber daya dan kesempatan melalui mekanisme keuangan yang dapat dimanfaatkan oleh muslim maupun nonmuslim.
Infusi dari penghapusan riba sebagai sebuah norma baru menjembatani hubungan yang lebih berimbang antara capital surplus holders dan capital deficit individuals melalui kontrak-kontrak yang bersifat equity-base maupun financing-base kedalam modus operandi keuangan konvensional yang mengedepankan efisiensi dan manajemen risiko.
Hasilnya adalah hubungan yang lebih berimbang antara pemilik modal dan pihak yang dimodali berlandaskan kepada usaha untuk menjaga kehormatan kedua pihak.
Perjalanan keuangan syariah di Indonesia adalah sebuah anomali dan melalui proses eksperimentasi serta inovasi. Baru pada awal 1990-an Bank Muamalat berdiri dengan mengusung semangat keuangan yang inklusif melalui implementasi kontrak-kontrak keuangan yang tidak menyalahi aturan-aturan fikih yang menjadi acuan bertransaksi.
Kemudian disusul dengan inovasi keuangan lainnya melalui model asuransi yang sesuai syariah di pertengahan 1990-an sampai dengan sertifikat pembiayaan yang sesuai syariah atau yang dikenal dengan sukuk di awal 2000.
Bank syariah pun tumbuh dan berkembang. Bahkan tiga bank umum syariah yaitu Dubai Panin Syariah, Bank BTPN Syariah dan, Bank BRI Syariah telah melantai di bursa per 2018. Pola pertumbuhan organik yang dilalui keuangan syariah di Indonesia sejatinya menggambarkan karakter dari perjuangan ekonomi model ini yang disruptif tetapi bersahabat.
Hal ini didasari pola pertumbuhan yang merangkul berbagai macam pemangku kepentingan yang turut serta memfasilitasi dan mendorong aktivitas ekonomi tersebut.
Pertumbuhan bottom-up keuangan syariah yang dirasakan sampai 2014 ini menghasilkan ekosistem keuangan syariah dengan diversitas yang kaya dengan berbagai model, baik yang otentik seperti Baitul maal wa Tamwil, koperasi yang beroperasi sebagai lembaga keuangan maupun yang hybrid dan modern seperti bank syariah.
Hal ini memungkinkan adanya segmentasi dari institutisi keuangan syariah yang ada untuk memenuhi berbagai kebutuhan keuangan yang bervariasi.
Namun, pertumbuhan organik yang dialami keuangan syariah di Indonesia menghadapi stagnansi di mana pertumbuhan yang tinggi diatas 15% per tahun on average tidak mampu menembus 5% market share trap yang dihadapi mesin utama pertumbuhan keuangan syariah nasional.
Sampai 2017 market share perbankan syariah mampu melampaui 5% trap ini dengan menembus 5,74% melalui konversi bank konvensional ke bank syariah. Pengalaman berada dalam 5% trap ini memberikan perspektif baru dalam pertumbuhan keuangan syariah, dimana pertumbuhan yang sifatnya organik memiliki keterbatasan.
Untuk menembus ceiling yang sifatnya struktural, pertumbuhan organik membutuhkan berbagai dorongan yang sifatnya inorganik seperti konversi bank konvensional menjadi bank syariah atau penggabungan beberapa bank syariah untuk diposisikan sebagai engine of growth.
Di Indonesia bank masih menjadi motor penggerak utama perekonomian dengan total aset Rp7.071 triliun dan laba bersih lebih dari Rp150 triliun pada akhir 2019. Sekitar 63% dari aset perbankan nasional atau setara Rp 4.499 triliun dikuasai empat bank besar, yaitu Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BCA, dan Bank BNI. Tiga di antaranya adalah BUMN. Tidak dapat dipungkiri bank-bank besar ini yang mendominasi dan terdepan, baik dari sisi inovasi maupun teknologi.
Contohnya BRI sebagai satu-satunya bank di Indonesia yang memiliki satelit komunikasi sendiri. Kemungkinan untuk memiliki sebuah engine of growth bagi keuangan syariah dengan daya saing tinggi dan kemampuan untuk berinvestasi kepada teknologi tepat guna adalah sebuah angin segar bagi keuangan syariah secara luas.
Rencana penggabungkan anak-anak usaha syariah bank BUMN menjadi sebuah bank umum syariah berskala besar bak gayung bersambut bagi kebutuhan pertumbuhan secara inorganik untuk melampaui structural ceiling. Bila terlaksana akan melahirkan sebuah bank umum syariah beraset Rp236 triliun yang akan menjadi bank beraset terbesar ketujuh.
Keberadaan sebuah bank jangkar syariah memungkinkan adanya institusi sentral yang terdepan dalam mengarahkan tujuan pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah agar dapat mendorong perkembangan industri turunan. Selain itu memungkinkan adanya investasi dan eksplorasi untuk mendukung penetrasi keuangan syariah melalui pendekatan keuangan baru.
Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-75 ini adalah momentum yang tepat untuk mengingatkan kembali pekerjaan rumah yang masih dimiliki bangsa ini sekaligus membuka mata mengenai posisi strategis ekonomi syariah sebagai energi baru dalam merealisasikan Indonesia yang berkeadilan dan menjunjung tinggi kemanusian. Saatnya ekonomi syariah menjadi energi baru bagi Indonesia.