Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wawancara Eks Bos BI Burhanuddin Abdullah: Revolusi Sistem Ekonomi Pasca Pandemi

Percepatan ekonomi yang diambil saat ini pun diharapkan tidak diambil buru-buru. Langkah yang diambil harus lebih fundamental baik dan bersifat reformasi guna membawa ekonomi pada kondisi sehat, bukan kondisi sebelum pandemi.
Mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanudin Abdullah/JIBI/Bisnis/Dedi Gunawan
Mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanudin Abdullah/JIBI/Bisnis/Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi virus corona tahun ini memberi kesempatan untuk melakukan kajian ulang terhadap semua kebijakan ekonomi yang telah diambil.

Percepatan ekonomi yang diambil saat ini pun diharapkan tidak diambil buru-buru. Langkah yang diambil harus lebih fundamental baik dan bersifat reformasi guna membawa ekonomi pada kondisi sehat, bukan kondisi sebelum pandemi.

Untuk membahas hal ini, Bisnis bertemu secara eksklusif dengan Gubernur Bank Indonesia periode 2003-2008 Burhanuddin Abdullah. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana bapak melihat kondisi ekonomi pada masa pandemi ini ? Berapa lama kondisi berat ini akan bertahan ?

Sejak awal saya sudah katakan bahwa akan terjadi perubahan dalam perekonomian kita atau malah mungkin tidak berubah. Manusia pada dasarnya tidak berubah, dia tetap greedy. Jika ada satu masa dalam kehidupannya dia slowdown, tapi pada akhirnya dia kembali ke fitrahnya.

Ada studi yang menguji mendeteksi 100 orang narapidana yang keluar dari penjara di 15 negara bagian, artinya ada 1.500 orang . Pada bulan pertama 60 persen balik lagi ke penjara. Terlepas dari kasus apa yang mereka perbuat, setelah 1 tahun hampir 80 persen kembali ke penjara.

Hal ini membuktikan dengan 1 kali hukuman manusia tidak akan insaf. Ini juga bukti bahwa sulitnya perubahan pola prilaku kita sebagai manusia.

Contoh lain, penyakit arteri. Banyak orang berkesimpulan ini adalah masalah perilaku. Jadi, saya pun pernah di-stem cell untuk jantung di Amerika. Dalam masa pengobatan, saya pun mendapat sebuah kuliah gratis. Saya diminta untuk mengubah kebiasaan makan, menghentikan rokok dan tujuh poin lainnya.

Namun, dokter yang memeriksa saya pun memberi sebuah informasi yang menarik. Dia mengatakan Amerika mengalokasikan uang untuk orang yang terkena penyakit arteri ini sekitar US$150 miliar per tahun.

Namun, umumnya para pasien tidak berubah. 1 tahun pertama mungkin iya mengubah kebiasaan, tapi setelahnya kembali merokok dan makan tidak sehat. Pandemi corona virus juga begitu. Kita mungkin melihat perubahan jadi lebih sehat dan disiplin dalam menjaga kebersihan. Tapi nanti tetap akan kembali lagi.

Lantas apakah itu juga akan terjadi pada ekonomi Indonesia?

Sejak awal, itu yang selalu saya khawatirkan. Saya perlu mengatakan bahwa pemulihan ekonomi Indonesia tidak boleh kembali ke masa sebelum pandemi. Ekonomi kita sudah sakit sebelum fase pandemi.

Kalau memang ada perubahan, harusnya beranjak ke fase baru, yakni dengan pertumbuhan dan ekosistem ekonomi yang lebih baik. Harusnya pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya 5 persen, current account tidak boleh defisit kronis, fiskal harus memiliki kesehatan yang baik, neraca perdagangan harus mampu tumbuh dengan surplus. Ini fase pulih kita. Pemulihan harus ada tranformasi, harus ada reformasi.

Lalu, kapan Bapak bisa melihat masa pemulihan ekonomi nasional ?

Untuk jawaban ini tentu banyak. Yang jelas kredit perbankan tidak boleh tumbuh dengan 7 persen atau 8 persen secara tahunan, harus mampu naik hingga 15 persen sampai 20 persen secara tahunan.

Seharusnya ekonomi domestik bisa kita garap untuk proses pemulihan ini. Apalagi kita melihat domestik ekonomi menjadi penopang pada masa krisis ini. Namun, arahnya pun tidak boleh salah.

UMKM itu 96 persen dari total tenaga kerja. Kita ingin reaktifasi segmen ini, dengan berbagai kebijakan, dengan restrukturisasi, subsidi bunga, dan lain-lain.

Namun, perlu kita sadari bahwa kebijakan ini pun tetap tidak akan berhasil. Hal yang dilakukan saat ini hanya akan memperbaiki catatan bank. Tak ada aliran dana yang tersalurkan ke ekonomi riil UMKM dalam negeri.

Kalau mau reaktifasi kembali, ya harus ada modal kerja. Ini juga tidak bisa melalui bank. Harus dipakai grand yang langsung sampai ke pelaku usaha. Bank justru akan memperlambat proses itu karena dia terbiasa proses yang panjang, banyak aturan yang mereka perhitungkan.

Keinginan untuk me-reaktivasi UMKM juga sebenarnya akan sangat susah, hampir karena kita tidak punya uang. Kalau Pemerintah Singapura itu mampu memberi keringanan ganti rugi 3 sampai 4 bulan tanggungan pelaku usaha.

Di Jerman juga begitu, kita tidak bisa. Kalau itu tidak bisa direaktivasi, maka kondisi kita akan sangat sulit. Apalagi kita tahu banyak orang yang terpaksa gulung tikar, tentu ini akan memicu moral hazard. Namun, itu yang dilakukan di Jerman dan Singapura, negara-negara yang punya duit.

Di luar itu, saya pun melihat sektor pangan bisa dijadikan alternatif untuk permasalahan ekonomi saat ini karena dapat pulih cepat. Dia bisa panen dan menumbuhkan permintaan baru, tetapi itu juga justru kurang terdengar.

Justru saya melihat pemerintah fokus pada sektor lain, anggaran pertanian justru dipotong. Padahal itu bisa menjaga keberlangsungan dan mampu menjadi pengganti impor barang pangan selama ini. Segmen ini juga punya kemungkinan menyerap tenaga kerja yang lebih banyak.

Menurut bapak, bisakah kita melakukan reformasi ekonomi itu?

Harus punya political will untuk kembali ke basic, harus punya kemauan yang kuat. Kita pun sudah melihat pidato marahnya Presiden Joko Widodo yang mengharapkan semua masyarakat, pembantunya, dan politis untuk sadar bahwa ekonomi nasional sedang dalam krisis.

Kita butuh dukungan politik dan dukungan finansial dan dukungan manusia. Jadi, kalau berbicara political will itu baru setengahnya. Sementara itu, setengah keberhasilannya lagi itu adalah implementasi, yang sorry to say agak berat.

Intinya yang bisa dilakukan untuk saat ini adalah mengganti orang dan reshuffle. Kita sudah dengar Presiden berkomitmen untuk reshuffle atau pembuatan Perpu, tapi ya susah, ini bukan masalah komitmen aja.

Adalah langkah ekstrem yang mungkin bisa dilakukan pemerintah?

Saya kadang juga punya pemikiran yang ekstrem dan liar untuk solusi pemulihan ekonomi nasional. Menurut, saya kita banyak komunitas yang tidak diberi kewenangan untuk menyejahterakan dirinya sendiri.

Contoh, kebijakan pendirian rumah sakit yang harus berbadan perseroan terbatas. Kenapa hanya dibolehkan berbadan PT, karena tidak boleh di luar itu, yang contohnya koperasi agar masyarakat menjadi pasien dan menjadi pemilik. Di Amerika itu boleh.

Kadang saya berpikir, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. sudah secara teknis bankrupt. Seharusnya, maskapai itu sudah dapat dimiliki pemerintah daerah, pemerintah pusat, masyarakat, dan pegawainya. Dan itu dibagikan langsung oleh pemerintah.

Menurut saya, justru itu lah makna ekonomi kekeluargaan sesungguhnya. Daripada dimiliki beberapa perusahaan yang dimiliki beberpa orang.

Paling tidak Ekonomi Indonesia sudah punya 3 kali kesempatan untuk mewujudkan ekonomi berlandaskan kesejahteraan. Pertama, pada waktu pengambil alihan perusahaan belanda oleh pemerintah Indonesia.

Saat itu, ada 73 perusahaan diambil alih dan jadi pelat merah. Tidak ada satu pun yang menjadi komunitas. Bahkan ada juga perusahaan swasta yang menjadi BUMN.

Kedua, pada tahun 1998. Itu ribuan perusahaan pemerintah yang masuk BPPN dan tidak ada satu pun yang masuk ke koperasi. Setidaknya, jika 50 atau 100 dapat dimiliki masyarakat, maka pengembangnya akan jauh lebih berkelanjutan, yang tentunya dengan pengawasan yang proper.

Ketiga, sekarang ini juga adalah saat yang sangat baik, ini saatnya membuat cerita baru. Meski belum ada negara yang berani melakukan hal ini, tetapi apa salahnya, kita kan bisa menjadi pioneer.

Kita pun sudah melihat ada milenial yang berani seperti itu. Mereka dengan media sosialnya itu adalah masa depan kita. Mereka dapat mewujudkan ekonomi yang kolaboratif. Harusnya pemerintah sudah berani untuk mengatur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : M. Richard
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper