Bisnis.com, JAKARTA — Realisasi produksi siap jual atau lifting minyak dan gas bumi sepanjang semester I/2020 masih dibanyangi sejumlah sentimen negatif.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memaparkan bahwa hingga semester I/2020 produksi migas mencapai 1,94 juta barel setara minyak per hari (million barrel oil equivalent per day/mboepd), terdiri atas produksi minyak sebesar 720.200 barel minyak per hari (barrel oil per day/bopd) dan produksi gas sebesar 6.830 juta standar kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMscfd).
Adapun lifting migas mencapai 1.714 mboepd dengan perincian lifting minyak sebesar 713.300 bopd atau 94,5 persen dari target anggaran pendapatan dan belanja negara original yang ditetapkan sebesar 755.000 ribu boped.
Sementara itu, lifting (salur) gas sebesar 5.605 MMscfd atau 84 persen dari target APBN original sebesar 6.670 MMscfd atau tercapai 84 persen.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan bahwa kondisi hulu migas nasional mengalami tekanan yang paling buruk dalam satu dekade akhir yang disebabkan oleh pelemahan harga minyak dan lemahnya permintaan karena pandemi Covid-19.
“Tekanan-tekanan ini tentu saja mengalami banyak masalah dalam upaya kita mencapai kinerja atau KPI [key performance indicator] yang semaksimum mungkin kalau kita lihat bahwa posisi supply demand minyak dunia,” ujarnya dalam paparannya kepada media, Jumat (17/7/2020).
Baca Juga
Namun, Dwi optismistis bahwa akan ada perbaikan kinerja pada sisa periode yang ada pada tahun ini karena adanya pembatasan produksi dari negara-negara OPEC+ dan juga negara-negara lain yang sudah berkomitmen.
Dia menuturkan bahwa harga minyak dunia sudah mulai beranjak naik pada Juni 2020 ke level US$40,07 per barel untuk jenis Brent dan US$36,68 per barel untuk jenis WTI yang pada Mei 2020 hanya menyentuh US$32,41 per barel dan US$25,67 per barel.
“Kemudian terjadi penyesuaian produksi sehingga pada semester II, pada kuartal III, dan kuartal IV diperkirakan ada perubahaan supply demand cukup besar sehingga berbagai pihak di negara lain cukup optimis untuk perbaikan harga minyak dunia ini,” ungkapnya.
Dwi menambahkan bahwa lifting minyak masih dapat diupayakan mendekati target APBN original. Namun, target lifting gas cenderung sulit dicapai.
Pasalnya, penurunan harga gas untuk industri yang efektif telah diberlakukan agar dapat meningkatkan serapan gas, belum memberi dampak optimal.
Penyebabnya adalah pandemi Covid-19 yang juga mengakibatkan penurunan kegiatan industri dan kelistrikan dan pada akhirnya menyebabkan penurunan penyerapan gas oleh end user.
Akibat rantai kejadian tersebut, penerimaan negara sektor hulu menurun secara berganda, baik disebabkan oleh pemotongan bagian negara agar harga gas industri tertentu dan kelistrikan dapat dipatok US$6 per MMBTU, maupun dari penurunan volume serapan gas.