Bisnis.com, JAKARTA – Impor minyak dan gas bumi sepanjang semester I/2020 secara nilai tercatat mengalami penurunan tajam yakni sekitar 30 persen.
Berdasarkan Rilis Badan Pusat Statistik (BPS), secara nilai impor migas sepanjang Januari—Juni 2020 tercatat US$7,53 miliar terkoreksi 30,87 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai US$10,89 miliar.
Penurunan nilai impor migas yang paling dalam terjadi pada hasil minyak yakni US$4,18 miliar dibandingkan dengan semester I/2019 US$6,88 miliar atau turun 39,31 persen.
Sementara itu, untuk minyak mentah terkoreksi 26,09 persen menjadi US$1,98 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu US$2,67 miliar, sedangkan untuk gas meningkat 3,45 persen menjadi US$1,36 miliar dibandingkan semester I/2019 US$1,32 miliar.
Namun, secara volume impor migas hanya terkoreksi 3,43 persen sepanjang semester I/2020 dengan realisasi US$19,22 juta ton dibandingkan dengan semester I/2019 19,91 juta ton.
Impor minyak mentah masih tercatat tumbuh 2,76 persen menjadi 5,59 juta ton per Juni 2020 dibandingkan dengan per Juni 2019 sebesar 5,44 juta ton. Sementara untuk impor gas tercatat tumbuh 19,61 persen, sedangkan dan impor hasil minyak mentah turun 11,74 persen.
Baca Juga
Di sisi lain, nilai ekspor migas sepanjang semester I/2020 terkoreksi 30,35 persen menjadi US$3,98 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai US$5,71 miliar.
Namun, secara volume ekspor migas Indonesia pada periode Januari-Juni 2020 mengalami peningkatan sebesar 4,18 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Ekspor industri pengolahan hasil minyak berkontribusi paling besar dengan pertumbuhan sebesar 123,08 persen pada periode tersebut dengan volume 2,67 juta ton dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu 1,2 juta ton.
Vice President Corporate Communication Fajriyah Usman menjelaskan bahwa penurunan impor disebabkan karena berkurangnya permintaan BBM di dalam negeri sepanjang periode tersebut.
Sementara itu, untuk ekspor, Fajriyah mengungkapkan bahwa Pertamina pernah mengekspor BBM jenis avtur pada April dan Mei 2020 ke negara Singapura dan Malaysia.
"Ya karena demand turun, stock BBM dan crude juga tinggi, sehingga impor berkurang," katanya kepada Bisnis, Kamis (16/7/2020).
Peneliti Indef Abra Talattov mengatakan bahwa realisasi ekspor-impor migas Indonesia pada periode tersebut masih dipengaruhi faktor pelemahan permintaan komoditas migas baik di dalam maupun di luar negeri.
Belum pulihnya aktivitas industri dan operasional transportasi udara dan transporatasi yang belum sepenuhnya normal masih sangat memengaruhi permintaan minyak.
"Ditambah juga ada kewajiban Pertamina menyerap dari dalam negeri KKKS itu juga pasti punya pengaruh besar karena pasti yang diprioritaskan mengambil dalam negeri jadi impornya turun," katanya kepada Bisnis, Kamis (16/7/2020).
Sementara itu, dia menjelaskan, dengan realisasi peningkatan volume ekspor industri pengolahan hasil minyak, bisa menjadi momentum untuk menekan defisit migas.
Catatan itu bisa menjadi acuan untuk mempercepat pembangunan kilang guna mengantisipasi pemulihan ekonomi dunia yang diprediksi bakal mengerek harga minyak dunia kembali meningkat.
"Ketika harga ada ekspektasi ekonomi recovery harga minyak meningkat kita sudah mulai bisa switch yang impor BBM tadi sebagian ditutup dari hasil dalam negeri. Ini jadi momentum utk meningkatkan lifting dan juga meningkatkan pengolahan hasil minyak dalam negeri," jelasnya.
Sementara itu, Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto berpendapat, data realisasi tersebut pada dasarnya mengonfirmasi atas pertumbuhan neegatif yang terjadi di dalam ekspor-impor migas yang disebebkan oleh dua faktor.
Menurut dia, faktor permintaan berpengaruh terhadap realisasi volume yang menurun, sedangkan faktor harga pengaruhnya ke nilai ekspor-impor yang menyusut.
"Resultan keduanya menghasilkan angka koreksi [atau kontraksi] 30 persen sebagaimana yang dirilis BPS tersebut," katanya kepada Bisnis, Kamis (16/7/2020).
Adapun, pada semester II/2020 dia memproyeksikan bakal mengalami rebound di sektor industri migas mengacu pada adanya perbaikan ekonomi yang dialami sejumlah negara.
Hal itu akan membuat harga minyak dunia akan mulai naik karena pelonggaran lock down disejumlah negara.
"Tapi tergantung bagamana perkembangan Covid-19 secara global dan bagaimana negara-negara di dunia menerapkan kebijakan terhadap penanganan Covid-19 tersebut maupun di dalam kebijakan ekonominya," ungkapnya.