Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tengah berupaya untuk mengatasi backlog atau defisit rumah karena rendahnya tingkat pasokan dibandingkan dengan kebutuhan.
Berdasarkan data Kementerian PUPR, backlog perumahan mencapai 7,64 juta unit per awal 2020 yang terdiri atas 6,48 juta rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) non-fixed income, 1,72 juta unit rumah untuk MBR fixed income, dan 0,56 juta unit rumah untuk non-MBR.
Lalu, backlog perumahan juga terjadi pada rumah tidak layak huni (RTLH) ini sebanyak 2,36 juta unit rumah terdiri atas backlog RTLH 2015 hingga 2019.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga mengatakan bahwa untuk mengatasi backlog perumahan dapat dilakukan dengan pengembang besar menggandeng pengembang menengah dan kecil melalui pembagian tugas yang jelas.
Misalnya, pengembang menengah dan kecil bertugas membangun rumah sangat sederhana, rumah bersubsidi, dan rumah berbasis komunitas.
"Pengembang menengah kecil bekerja sama atau bahkan merger dengan tugas khusus membangun rumah susun untuk MBR," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (14/7/2020).
Baca Juga
Lalu, pengembang besar fokus pada pembangunan rumah menengah ke atas, apartemen, hotel, dan kawasan terpadu yang lebih strategis.
"Semuanya bertujuan untuk mempercepat pemenuhan rumah/hunian terutama untuk MBR," kata Nirwono.
Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute Wendy Haryanto menuturkan bahwa saat ini terdapat 30 persen rumah susun sederhana sewa (rusunawa) kosong di tengah adanya defisit rumah.
Menurutnya, pengembang akan tetap membangun rusun sebagai kewajiban mereka. Namun, kalau akhirnya akan kosong, tentu ini tidak akan menyelesaikan masalah.
"Masalahnya bukan di backlog. Masalahnya ada di pengelolaan. Bagaimana bisa ada angka backlog, tapi ada 30 persen [hunian] kosong," ucapnya.