Sebuah pesan diiringi file video masuk ke whatsapp group di ponsel saya pada suatu sore pertengahan Juni lalu. Penasaran, saya pun memutar video tersebut. Isinya testimoni seorang ibu, 72 tahun, yang mengaku sebagai nasabah Koperasi Indosurya.
Warga Samarinda, Kalimantan Timur itu menyebut punya simpanan di Koperasi Indosurya lebih dari Rp100 miliar dan dalam status macet. Gagal dibayar Koperasi Indosurya.
Dalam video itu, pemilik dana meminta berdamai dengan pengurus Koperasi Indosurya dengan harapan dana bisa segera kembali. Padahal kini perkara Koperasi Indosurya sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Saya tak ingin mendahului putusan akhir dari persidangan. Juga tak bermaksud menyela polemik antara nasabah yang ingin berdamai dan menempuh jalur hukum. Hal yang membuat saya miris adalah ada ‘koperasi’ yang banyak mendapat pemberitaan dan perhatian secara luas justru karena tersangkut masalah dan gagal bayar kewajiban kepada para nasabahnya. Bukan karena koperasi yang sukses menyejahterakan anggotanya.
Apakah Indosurya benar-benar beroperasi sebagai badan usaha koperasi sesuai undang-undang yang berlaku? Saya tidak ingin masuk pada persoalan itu, karena tidak cukup mencermati secara detail Koperasi Indosurya. Namun yang dirasakan janggal sejak semula adalah penyebutan ‘nasabah’ bagi mereka yang menyimpan dananya. Bukan ‘anggota’ layaknya di sebuah koperasi.
Padahal dalam UU Perkoperasian, tak ada satu pun kata ‘nasabah’. Bahkan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi adalah rapat anggota (Pasal 22). Keberadaan anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi melalui rapat anggota menegaskan kebersamaan (usaha bersama) yang dilandasi prinsip kekeluargaan dan gotong royong dalam pendirian koperasi.
Prinsip itu jika diperas lagi meliputi dua pilar utama, yakni solidaritas dan individulitas seperti diungkapkan Mohammad Hatta dalam pidato radio memperingati Hari Koperasi di Indonesia pada 12 Juli 1951. Yang dimaksud solidaritas adalah semangat bersekutu atau yang sekarang dikenal sebagai kolaborasi. Adapun individualitas adalah kesadaran akan harga diri sendiri (gengsi).
Watak kekeluargaan dan gotong royong dalam berkoperasi sering disalahartikan sebagai filantropi yakni kegiatan yang bersifat sosial. Padahal itu mengandung makna modal sosial sebagai modal dasar berkoperasi. Modal sosial ini sangat relevan dengan upaya mengatasi dampak dari kondisi pandemi saat ini.
Tak semua persoalan yang muncul sebagai dampak pandemi bisa diatasi oleh dan hanya oleh pemerintah sendiri. Sekuat apapun modal ekonomi suatu pemerintahan dalam mengatasi dampak pandemi, akan sia-sia tanpa modal sosial dari masyarakat.
Semangat untuk mengadaptasi tata nilai berkoperasi, sekalipun tidak dalam wujud koperasi yang sesungguhnya, juga relevan dalam merumuskan upaya menyelamatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari dampak pandemi corona. Apalagi menyelamatkan UMKM secara umum sama dengan menyelamatkan perekonomian nasional Indonesia. Mengapa?
Karena UMKM punya posisi strategis bagi perekonomian nasional. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia ditopang oleh UMKM yang menyumbang sekitar 60,3% dari total PDB. Sektor UMKM juga menyerap tenaga kerja lebih dari 95% dari total tenaga kerja Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan UKM mencatat hingga semester I/ 2019, jumlah UMKM mencapai 64,2 juta unit usaha.
Tak berlebihan jika UMKM juga kita tempatkan sebagai soko guru perekonomian nasional selain koperasi. Namun saat ini UMKM juga ikut menanggung dampak yang cukup berat. Keadaan ini sungguh berbeda dengan keadaan pada krisis-krisis ekonomi terdahulu di Indonesia seperti 1998 atau 2008 ketika UMKM justru menjadi penopang kinerja ekonomi nasional.
Data Kementerian Keuangan menyebutkan sekitar 20 juta UMKM membutuhkan restrukturisasi kredit perbankan. Bisa diartikan pada sisi baiknya adalah bahwa setidaknya hampir sepertiga dari total UMKM di Indonesia sudah terkoneksi ke sistem perbankan.
Bagaimana selebihnya? Bisa jadi sudah terkoneksi dengan sistem perbankan tetapi kondisi usahanya baik-baik saja, sehingga tak membutuhkan restrukturisasi. Ini tentu harapan semua pihak. Lalu sisanya lagi? Bisa jadi mati suri atau malah gulung tikar. Sayangnya saya belum menemukan data yang pasti.
Belajar dari keadaan itu, mendorong UMKM untuk terkoneksi ke ekosistem digital menjadi pekerjaan rumah saat ini dan jangka panjang. Implementasi teknologi digital dalam setiap aspek operasional UMKM, menjadi sebuah keniscayaan.
Sayangnya saat ini hanya sekitar 13% dari total UMKM yang sudah mengimplementasi digitalisasi. Perlu digagas suatu langkah afirmasi untuk memperbanyak UMKM yang terkoneksi ke sistem digital. Mulai dari aspek pendanaan atau pembiayaan. Yang tak kalah penting dan harus dilakukan adalah memfasilitasi aspek penjualan dan pemasaran ke platform digital seperti e-commerce dan market place.
Sekurangnya ada satu aspek UMKM terkoneksi ke sistem digital agar mereka bisa terhimpun dalam sebuah basis data besar (big data) UMKM Indonesia. Keberadaan basis data ini sangat penting untuk penetapan kebijakan dan langkah-langkah afirmasi bagi pengembangan ke depan pascapemulihan dari krisis akibat pandemi.
Digitalisasi juga membuat pelaku pebisnis UMKM terbiasa bekerja berbasis data, sehingga semua serba tercatat dan serba terukur. Yang paling terpenting, sistem operasi bisnis UMKM juga bisa efisien tetapi dengan akses ke sumber daya dan pasar yang seluas mungkin.