Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dari Air Minum hingga Jalan Tol, Ini Catatan Bank Dunia terhadap Proyek Infrastruktur RI

Bank Dunia menyarankan pemerintah untuk lebih berfokus pada kualitas dan outcome dalam merancang sasaran pembangunan dalam perencanaan nasional ketimbang mengejar kuantitas dan output.
Ilustrasi Pembangunan Jalan Tol. Bisnis/Nurul Hidayat
Ilustrasi Pembangunan Jalan Tol. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Dunia atau World Bank menilai Indonesia menghadapi risiko kewajiban kontingensi akibat pembangunan infrastruktur yang massif dalam beberapa tahun terakhir. Kontingensi timbul akibat proyek pembangunan infrastruktur dinilai tidak efisien.

Laporan Bank Dunia bertajuk Spending for Better Results, menunjukkan risiko kontingensi terdapat pada proyek air minum, jalan tol, dan perumahan. 

Di sektor air minum, risiko kewajiban kontingensi muncul karena mayoritas perusahaan daerah air minum (PDAM) disebutkan mengalami kerugian. Kebocoran air atau non revenue water (NRW) dan tarif yang lebih rendah dari biaya produksi (full cost recovery) menyebabkan PDAM menderita kerugian.

Akumulasi kerugian tetap ada bahkan di PDAM yang mendapat laba. Tidak pelak, hal ini berujung menjadi kewajiban kontingensi di pemerintah daerah dan pusat.

Di sektor perumahan, skema subsidi FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dan subsidi selisih bunga (SSB) memiliki biaya per unit yang tinggi dari Rp 53 juta sampai Rp 63 juta dalam nilai bersih sekarang atau net present value per unit bersubsidi pada tahun 2018.

Hal tersebut menimbulkan kewajiban sekitar Rp17 triliun pada periode tersebut. Jumlah ini menyebabkan adanya biaya fiskal di muka dan 10 kali lebih tinggi dari posisi pada 2011.

Untuk sektor jalan tol, pemerintah banyak mengandalkan BUMN untuk proyek pembangunan infrastruktur dinilai tidak efisien dan dapat menimbulkan kewajiban kontingensi.

Meskipun ada beberapa kemajuan dalam beberapa tahun terakhir ini dengan menggunakan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) untuk proyek jalan tol, PT Jasa Marga (Persero) Tbk. dan BUMN lainnya masih menjadi pemain yang dominan.

Perencanaan, persiapan, dan pengemasan proyek yang tidak memadai, kurangnya kapasitas pembiayaan yang komprehensif dan andal, serta ketidakpastian lainnya dapat mengurangi minat dari calon penawar sektor swasta.

Meskipun mengandalkan BUMN berhasil mendorong BPJT untuk memenuhi targetnya, strategi ini dinilai bukanlah pilihan yang paling berkelanjutan atau efisien dalam pembangunan di masa mendatang.

Masih ada kebutuhan pembangunan sekitar 4.218 km jalan tol yang belum diberikan atau ditugaskan. Dalam banyak kasus proyek-proyek yang ditugaskan pada BUMN bukanlah proyek menguntungkan dan membutuhkan dorongan pemerintah.

Selain itu, sebagian besar BUMN yang mampu mengambil konsesi jalan yang baru sudah memiliki proporsi utang yang sangat tinggi terhadap ekuitas. 

Kebanyakan BUMN ini juga tidak memiliki kapasitas untuk meningkatkan lebih banyak ekuitas atau utang tanpa subsidi pemerintah secara jelas. Hal ini dinilai akan meningkatkan risiko fiskal dari adanya kewajiban kontingensi.

Sebagai gambaran, sisi rasio kewajiban terhadap ekuitas pada BUMN yang acap kali mendapat penugasan dari pemerintah telah mengalami peningkatan signifikan.

Contohnya, rasio kewajiban terhadap ekuitas Jasa Marga meningkat dari 2,3x menjadi 3,3 kali pada rentang 2015—2017. Rasio yang sama pada PT Waskita Karya (Persero) Tbk. dan PT Hutama Karya (Persero) juga meningkat masing-masing dari 2,2x dan 1,3x menjadi 3,3x dan 4,7x.

“Harus lebih banyak lagi ruang yang diberikan oleh BPJT untuk peran serta sektor swasta berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan (DJPIPUP) melalui upaya yang berkelanjutan,” dikutip dari laporan tersebut, Senin (29/6/2020).

Selain itu, Bank Dunia menyarankan agar pemerintah harus lebih berfokus pada kualitas dan outcome dalam merancang sasaran pembangunan dalam perencanaan nasional dan sektoral daripada hanya kuantitas dan output.

Terkait subsidi BUMN, Bank Dunia menyebutkan pemerintah saat ini dapat melakukan pengalihan subsidi menjadi bantuan tunai sebagai solusi tepat. Pada 2019, total subsidi untuk energi dan pupuk dari pemerintah mencapai sekitar 8,5 persen dari belanja pemerintah pusat.

“Ada kesempatan untuk mengalihkan subsidi energi dan pupuk, diperkirakan mencapai 8,5 persen belanja pemerintah pusat tahun 2019, menjadi bantuan tunai tepat sasaran, terutama ketika harga komoditas, yang menentukan harga BBM dan pupuk, kini di kisaran sangat rendah,” dikutip dari laporan tersebut.

Sementara itu, di sektor perumahan pemerintah Indonesia disarankan untuk mendukung pengembangan kerangka kerja kemitraan pemerintah-swasta (KPS) untuk perumahan yang terjangkau untuk mendukung akses terhadap tanah yang terjangkau dan berlokasi baik.

Adapun, di sektor sumber daya air, Bank dunia menyarankan pemerintah untuk memberlakukan Kemitraan Pemerintah-BUMN (KPBU). Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi mekanisme pendapatan untuk menyediakan mekanisme pembiayaan jangka panjang alternatif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rivki Maulana
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper