Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan krisis pandemi virus Corona (Covid-19) menujukkan parahnya disiplin fiskal yang dilakukan pemerintah.
Menurutnya, krisis Covid-19 telah membuka kesalahan dan kekurangan pemerintah dalam mengelola alokasi anggaran, khususnya untuk kebutuhan pemulihan ekonomi nasional (PEN).
"Berbagai program yang diterapkan pemerintah justru menunjukkan parahnya disiplin fiskal. Salah satunya ke BUMN," katanya dalam diskusi webinar, Rabu (10/6/2020).
Ada atau tidak adanya Covid-19, lanjutnya, pemerintah harus membayar utang kepada perusahaan negara. Menurutnya, pemerintah memiliki utang dalam jumlah besar kepada BUMN yang tidak pernah disetorkan selama bertahun-tahun.
Dia memberi contoh pemerintah memiliki utang ke PLN dan Pertamina, bahkan sebelum wabah Covid-19 menjangkiti Indonesia.
"Saya dapat informasi dari pimpinan PLN, utang pemerintah berjumlah Rp73 triliun hingga akhir tahun ini. Utang ke Pertamina sekitar separuhnya," ucap Faisal.
Baca Juga
Utang tersebut bertambah seiring banyaknya proyek-proyek yang ditugaskan pemerintah ke perusahaan pelat merah. Dia mencontohkan beberapa proyek penugasan ke Pertamina antara lain, BBM subsidi, BBM tertentu yang harganya ditetapkan pemerintah, dan BBM satu harga.
Niat pemerintah menerapkan proyek tersebut membuat Pertamina mengalami kerugian. Namun, utang tersebut tidak pernah dibayar sehingga menciptakan ketidakdisiplinan dalam mengelola fiskal. Keterlambatan tersebut menimbulkan masalah likuiditas untuk perusahaan negara.
"Covid-19 ini seperti keranjang sampah untuk menghilangkan jejak ketidakdisplinan fiskal pemerintah. Stimulus fiskal yang dikaitkan dengan recovery sangat sedikit, efektivitas paling 50 persen," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti Indef Abra Tallatov mengatakan ada tiga jenis dana yang tercantum dalam usulan stimulus PEN yang diajukan pemerintah kepada BUMN, yaitu pencairan utang pemerintah sebesar Rp108,4 triliun, PMN Rp15,5 triliun, dan dana talangan Rp19,6 triliun.
Selain soal pembayaran utang, Atta menilai rencana pemberian PMN ke beberapa BUMN dalam situasi krisis tidak diimbangi dengan verifikasi kinerja keuangan beberapa perusahaan negara.
Pasalya, ada tujuh BUMN penerima PMN yang justru merugi, misalnya PT Krakatau Steel, PT PAL, Perum Bulog, PT Sang Hyang dang PT Pertani, PT Dirgantara Indonesia, serta PT Dok Kodja Bahari.
Dia menilai pemerintah harus memastikan beberapa hal sebelum memberikan PMN kepada BUMN, apalagi saat ini keuangan pemerintah ketat di tengah krisis.
Beberapa hal yang harus diperhatikan, misalnya kriteria pemilihan BUMN penerima PMN, proposal atau business plan untuk pemanfaatan PMN dan evaluasi terhadap PMN yang pernah diberikan sebelumnya.
"Nanti harus ada targetnya. Apa setelah dapat PMN kinerja BUMN membaik atau malah lebih buruk," ucapnya.
Seperti diketahui, pemeritah menganggarkan dana Rp22,2 triliun untuk diberikan kepada empat BUMN pada 2020. BUMN penerima PMN, yaitu PT Hutama Karya (Persero) sebesar Rp7,5 triliun untuk melanjutkan tol Trans Sumatra, PT Permodalan Nasional Madani Rp1,5 triliun untuk pembiayaan UMKM, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Rp6 triliun untuk penjaminan kredit usaha rakyat, dan PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) Rp500 miliar untuk pembangunan kawasan wisata Mandalika dan persiapan MotoGP 2021.